Jowonews

Penganyam Besek di Purworejo Tetap Eksis Sejak Zaman Penjajahan Belanda

Penganyam Besek

PURWOREJO – Salah satu desa di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah merupakan sentra kerajinan besek. Kerajinan ini bahkan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan bertahan hingga saat ini. Besek adalah wadah makanan berbentuk kotak dengan ukuran sekitar 20 cm x 20 cm yang terbuat dari anyaman bambu. Bagi warga desa, besek sering dijadikan wadah untuk menampung berbagai makanan, seperti saat acara hajatan. Salah satu desa yang masih memproduksi besek adalah desa Guntur di kecamatan Bener. Tidak hanya di Guntur, sebagian besar masyarakat dari desa lain di sekitar Guntur juga bermata pencaharian sebagai penganyam besek. Profesi sebagai penganyam besek ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak zaman penjajahan Belanda. Dikutip dari Detik Jateng, Pengelola Wisata sekaligus Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Guntur, Miftakhu Khafid (26 tahun) mengatakan hingga saat ini besek masih banyak dimanfaatkan meskipun telah digempur dengan perkakas instan modern seperti kardus, plastik maupun styrofoam sebagai tempat makanan. “Masyarakat di sini kebanyakan membuat besek, meski ada pedagang di warung, mereka juga bekerja sambilan membuat besek,” terangnya. Besek-besek yang sudah jadi, lanjutnya, kemudian dikumpulkan oleh para pengepul, Besek ‘made in’ Purworejo kemudian dipasarkan ke luar kota termasuk Jakarta. “Setelah dibuat di rumah-rumah warga, besok ada pengepul yang akan menjualnya ke luar kota, sebagian ke Jakarta,” jelasnya. Salah satu perajin besek, Ida Ariyanti (35 tahun), mengaku sudah menekuni anyaman besek sejak kecil. Karena orang tuanya juga penganyam besek. Sepasang bebek dari bambu apus ini dijual seharga Rp 1.400. “Kalau bikin sepasang besek, butuh waktu sekitar 15 menit. Rata-rata setiap orang bisa membuat 25 tangkep per hari. Satu tangkep harganya Rp 1400, kadang naik turun. Kami juga membuat souvenir, gelas sablon, keranjang dan sejenisnya,” ujarnya. Pengrajin lainnya, Soimah (48) berharap keranjang anyaman di desanya tetap eksis. Selain untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, wadah anyaman bambu juga menjadi salah satu bentuk produk kemasan atau wadah makanan yang ramah lingkungan. “Mudah-mudahan eksis terus dan tetep laris, kita kan juga dukung go green karena besek ini kan ramah lingkungan,” tuturnya. Untuk memperkuat kearifan lokal, tidak lengkap rasanya jika pengunjung belum belajar membuat besek. Pengunjung dapat belajar menenun besek secara gratis. Untuk menjaga nama pusat besek tersebut, desa Guntur juga telah membuat simbol sekaligus tempat yang dapat dijadikan objek wisata yaitu Bukit Seribu Besek. Nama Bukit Seribu Besek disematkan warga sekitar bukan karena terdapat 1.000 tempat wisata besek, melainkan angka 1.000 itu dianggap angka yang besar sekaligus untuk mengangkat nama desa sebagai sentra pembuatan besek terbesar di Purworejo. Saat ini, desa wisata yang terbentuk karena ikon besek ini terus berbenah dan berkembang untuk menarik pengunjung dengan memperbanyak spot selfie yang bisa diposting di Instagram. Bukit yang indah dan mempesona ini terletak sekitar 18 km barat laut pusat kota Purworejo dan dapat diakses melalui jalan raya Purworejo-Magelang. Bukit dengan luas pengembangan 7,5 hektar ini menjadi destinasi wisata yang memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan tempat wisata sekaligus tempat pendidikan dan pelatihan. Bukit Seribu Besek terletak tepat di atas Bendungan Bener. Jika nantinya megaproyek pemerintah pusat yang merupakan bendungan tertinggi di Indonesia ini rampung, akan menambah daya tarik tersendiri karena akan terlihat megah jika dilihat dari atas bukit.

Kulineran di Pasar Inis Purworejo, Menikmati Sajian Kuliner Tradisional di Tengah Sawah

Pasar Inis Purworejo

Ingin mengisi liburan akhir pekan bersama keluarga? Jangan bingung, datang saja ke Pasar Inis Purworejo. Pasar unik di tengah sawah ini mengajak pengunjung menikmati suasana sambil mencicipi hidangan tradisional. Pasar ini terletak di desa Brondongrejo, kecamatan Purwodadi. Meski berada di tengah pedesaan, destinasi wisata ini cukup mudah ditemukan. Jika sudah datang ke Jalan Jogja KM 7, pengunjung hanya perlu ke arah barat sekitar 3 km untuk melihat pasar tradisional yang terletak di tengah hamparan sawah yang sangat luas. Kata Inis sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti sejuk, segar dan semilir angin. Karena letaknya di pedesaan yang dikelilingi sawah dan pepohonan, pasar ini disebut Pasar Inis. Pasar buka setiap hari Minggu menawarkan berbagai produk unik. Mulai dari suasana, dari kostum para pedagang, dari makanan hingga transaksi yang harus menggunakan uang bambu. Makanan yang disajikan dijamin fresh, tanpa bahan pengawet. Perlu diperhatikan bahwa orang yang ingin membeli makanan harus menukarkan uangnya dengan ‘Dit Pring’ yang disediakan di lokasi penukaran mata uang yang telah disediakan. Jika membeli langsung dengan cash tidak akan dilayani Menu utama di Pasar Inis adalah nasi telang dan wedang telang. Namun banyak juga makanan tradisional yang ditawarkan dengan harga murah mulai dari Rp 500 hingga Rp 10.000. Usai membeli makanan, pengunjung bisa duduk santai di bangku bambu yang tertata rapi di halte Inis. Selain berbagai jenis makanan dan minuman tradisional, pasar ini juga menampilkan berbagai pertunjukan seni seperti tari dolalak dan pertunjukan lainnya. Tak hanya menyajikan aneka hidangan dan minuman, tempat ini juga dapat menjadi sarana refreshing dan quality time bagi keluarga setelah seminggu sibuk bekerja. Perlu dicatat bahwa Pasar Iris hanya buka setiap hari Minggu mulai pukul 06:00 WIB hingga 11:00 WIB.

Labuan Bajo, Bukan Hanya Ada Komodo

FIB UI

LABUAN BAJO – Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata Labuan bajo? Mayoritas akan menjawab destinasi wisata Komodo. Padahal, dibalik eksotisme hewan purba Komodo, di sana juga tersembunyi potensi lain yang bisa meningkatkan taraf hidup perekonomian masyarakatnya. Sebut saja misalnya, Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar, tepatnya di area Pantai Toroloji, Labuan Bajo. Desa Bari merupakan penghasil kelapa, minyak, dan makanan khas yang enak. Namun semua potensi tersebut belum bisa dioptimalkan. Desa ini sangat potensial untuk dikunjungi banyak turis karena akan menjadi pintu masuk ke Pulau Longos. Sebuah pulau yang digadang-gadang menjadi salah satu destinasi wisata baru di Labuan Bajo. Di sana ditemukan habitat kalong dan juga Komodo. Demi bisa mengoptimalkan produk lokal Desa Bari, Program Studi Prancis, FIB Universitas Indonesia (UI) beberapa waktu lalu menggelar kegiatan pengabdian masyarakat di sana. Tim yang dikepalai Diah Kartini Lasman, M.Hum. dan Airin Miranda, M.A ini melaksanakan program pendampingan pemasaran dan pembuatan konten digital bagi industri mikro ramah lingkungan di desa tersebut. Menurut Airin, tujuan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi industri mikro Desa Bari sebagaimana termaktub dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 8. Yakni terciptanya pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. “Selain itu, industri mikro Desa Bari ini banyak memberdayakan ibu rumah tangga. Sehingga kemajuan industri ini bisa membawa kesetaraan gender atau gender equalty di desa tersebut, sebagaimana tujuan SDGs nomor 5,” tandas Airin. Praktik Langsung Pada sesi pendampingan tersebut, warga Desa Bari tidak hanya diberikan teori tentang teknik pemasaran produk mereka, namun juga dilatih secara langsung untuk praktiknya. Seperti praktik pengemasan produk dengan bahan yang ramah lingkungan oleh Aji Kurniawan, digital marketing specialist dari Frank & Stein dan Alya Zahra Fauzy, mahasiswa FIB. Mereka juga diajari soal pengambilan gambar produk oleh Okky Prasetyo, seorang documentary videographer profesional. Lalu Ilmu yang didapat tersebut langsung dipraktikkan oleh warga desa dengan memanfaatkan kamera ponsel pintarnya. Ketua Kelompok Keripik Pisang “Kalo Bari” Ernawati mengaku senang atas kegiatan dari Tim Pengabdian Masyarakat FIB UI tersebut. “Kami jadi belajar untuk bisa memasarkan produk lebih luas melalui konten media sosial dengan kemasan yang jauh lebih baik serta menarik,” kata perempuan berusia 65 tahun tersebut. Dia optimis produk warga Desa Bari bisa terjual lebih banyak ke depannya. Sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian keluarga di sana.