Jowonews

Mengantar Generasi Menuju Peradaban Baru

Oleh: Muhammad Mafaza A’la, S. Pd. Hari ini ilmu pengetahuan semakin mudah untuk diakses.  Maka sudah dipastikan akan muncul juga berbagai peluang kebangkitan terutama pada sektor pendidikan. Sayangnya, sistem pendidikan seolah masih terjebak dalam zona nyamannya. Institusi yang seharusnya mempunyai potensi terbesar untuk mengantarkan masa depan sebuah bangsa, justru yang paling nyaman larut dalam paradigma masa lalu. Tidak dipungkiri bahwa sistem pendidikan kita telah mengantarkan ke era modern saat ini. Namun disisi lain, pendidikan juga seolah mengikis motivasi, kreativitas dan bakat anak. Hal yang berhasil diterapkan di masa lalu ternyata tidak lagi relevan di masa kini dan kita belum siap mengantisipasi datangnya krisis karena krisis tersebut telah berlangsung hari ini. Cara kita dalam mengajar hari ini akan menentukan bagaimana cara hidup sebuah bangsa pada 5 hingga 10 tahun ke depan. Kita ketahui bersama, kebutuhan hidup setiap orang saat ini sangatlah berbeda. Ketika kita meninggalkan era revolusi industri, tatanan dunia telah berubah bersama dengan mentalitas kita. Jika diperhatikan lebih lanjut, ternyata sistem pendidikan kita sebenarnya dirancang pada era revolusi industri, dimana pabrik membutuhkan banyak pekerja untuk menjalankan mesin. Pada era tersebut, sistem sekolah masih terkait dengan penyeragaman untuk kebutuhan produksi massal industri. Nilai-nilai era industri dapat terlihat pada penyeragaman dibandingkan keberagaman, mendukung individualisme daripada kolaborasi, mengedepankan hafalan dibandingkan berpikir kreatif, mengutamakan nilai kesuksesan dibandingkan pentingnya tangguh dalam menghadapi kegagalan, lebih menghargai kemampuan kognitif tanpa memperhatikan kemampuan empati dan kecerdasan emosional. Hal yang dibutuhkan dunia pasca industri saat ini adalah serangkaian kompetensi baru sebagai individu dan dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Lahirlah paradigma baru yang dapat mengeksplorasi kompetensi holistik dan adanya ide desentralisasi pendidikan. Hal tersebut sebagai bentuk penyempurnaan dari yang hanya mengandalkan keterampilan kognitif rutin menuju cara berpikir dan metode kerja yang lebih kompleks. Dengan menyadari bahwa perbedaan sudut pandang adalah modal yang berharga, pentingnya kemampuan beradaptasi, kolaboratif, kreatif dan kapasitas penalaran kualitatif agar dapat mengintegrasikan antara teori beserta penerapannya. Semua hal tersebut mencakup serangkaian kompetensi manusia yang dibutuhkan pada era automasi saat ini. Sebuah sistem pendidikan dengan basis lebih luas dan memberikan kesempatan berkembangnya individu secara holistik. Sudah tentu saat ini kita menyadari bersama akan permasalahan pendidikan dan berusaha untuk memperbaikinya, namun tanpa kita sadari ternyata kita masih memandangnya dengan cara lama. Paradigma, sistem, dan struktur berpikir lama masih langgeng dipraktikkan setiap hari. Saat ini pendidikan terjadi hanya jika berada di dalam kelas, sekolah, universitas, perpustakaan dan sebagainya. Pendekatan demikian cocok jika diterapkan pada era kelangkaan informasi. Namun hari ini kita mempunyai sumber daya yang bebas diakses dan dipelajari oleh semua orang. Ternyata kita tidak menganggap semua itu sebagai sumber daya ilmu karena berada di luar kotak ruang pendidikan. Maka yang kita butuhkan adalah menciptakan sebuah sistem yang terbuka sehingga siswa dapat mengakses berbagai potensi informasi secara lebih terstruktur, kontekstual, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa dengan pendampingan guru dan orang tua. Pendekatan sistem pendidikan yang terbuka bertujuan agar lebih inklusif, terbuka untuk semua orang, dan menampung seluruh dimensi pembelajaran. Dengan demikian kita dapat beranjak dari kecenderungan uni-dimensional ke multi-dimensional karena dunia telah berubah dan kita harus beradaptasi. Oleh karena itu, yang sedang dibutuhkan saat ini tidak lagi kecerdasan sempit satu dimensi, melainkan serangkaian kompetensi holitik.

MEDIA KONKRIT UNTUK MEMBANTU PENANAMAN KONSEP PERKALIAN PESERTA DIDIK KELAS 2 SEKOLAH DASAR

Oleh: Rosa Novita Pitaloka, S.Pd Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengenbangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengembangan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan di Indonesia tidak hanya sekedar menjadi bangsa yang bermartabat karena mempunyai ilmu, tetapi juga mempunyai kesadaran untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki keterampilan yang bermanfaat untuk dirinya maupun negaranya. Belajar matematika merupakan suatu syarat cukup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu. Pada usia siswa sekolah dasar (7-8 tahun hingga 12-13 tahun). Menurut teori kognitif Piaget termasuk pada tahap operasional konkret. Berdasarkan perkembangan kognitif ini, maka anak usia sekolah dasar pada umumnya mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang bersifat abstrak. Karena keabstrakannya matematika relatif tidak mudah untuk dipahami oleh siswa sekolah dasar pada umumnya (Susanto, 2016: 183). Dalam pembelajaran matematika, siswa harus mampu menemukan secara mandiri berbagai pengetahuan yang diperlukan dalam proses belajar mengajar. Setiap konsep yang abstrak harus diserap siswa, guru perlu memberikan penguatan agar materi pembelajan tersimpan di otak siswa. Maka diperlukannya adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak sekedar hafalan saja. Pembelajaran matematika di sekolah dasar harus dimulai dari hal konkretberdasarkan pada kegiatan. Karena itulah menjadi tanggung jawab bagi seorang guru dan mahasiswa sebagai calon guru untuk mencari penyelesaian permasalahan melalui inovasi dan kreatifitas dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Menurut Arsyad (2015: 3) kata “media” berasal dari bahas Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah” atau “pengantar”. Gerlach dan Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikasi. Media papan perkalian adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi perkalian berulang, berupa papan yang berlapis flanel. Melalui media pembelajaran ini siswa dituntut aktif dalam pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa matematika materi perkalian. Menggunakan media nyata dalam proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting, sebab siswa akan lebih memahami materi yang akan disampaikan. Melalui media ini, siswa kelas II diharapkan mampu berpikir aktif dalam pemahaman konsep perkalian agar siswa dapat meningkatkan hasil belajar matematika. Siswa kelas II B berjumlah 40 anak, pada saat observasi berlangsung jumlah siswa sudah lengkap. Guru mengucapkan salam dan menanyakan mengenai keadaan siswa, apakah siswa sudah siap menerima pelajaran atau belum. Guru bertanya jawab mengenai perkalian yang berkaitan dalam keidupan sehari-hari. Kemudian guru menerangkan pelajaran matematika materi perkalian dengan menggunakan media papan perkalian. Guru menunjukkan media papan perkalian dengan melibatkan siswa maju ke depan guna untuk merangsang belajar siswa. Siswa yang maju di depan diberikan soal untuk dikerjakan dengan menggunakan media papa perkalian, Guru memberikan reward berupa tepuk salut yag telah berperan aktif dalam pembelajaran, baik aktif bertanya maupunmenjawab pertanyaan dari guru. Pemberi penghargaan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan semangat siswa dalam dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran di kelas guru menggunakan media papan perkalian. Guru menunjukkan media papan perkalian dengan melibatkan siswa maju ke depan guna untuk merangsang belajar siswa. Banyak siswa yang karena baru pertama kali diajarka menggunakan media papan perkalin. Dengan menggunakan media papan perkalian bisa membantu guru untuk bisa menyampaikan suatu konsep perkalian yang bersifat abstrak menjadi nyata dan lebih mudah untuk dipahami oleh siswa. Seperti yang dikemukakan Piaget (Susanto, 2016: 183) pada usia siswa sekolah dasar (7-8 tahun hingga 12-13 tahun) termasuk pada tahap operasional konkret. Berdasarkan perkembangan kognitif ini, pada usia siswa sekolah dasar (7-8 tahun hingga 12-13 tahun) termasuk pada tahap operasional konkret. Berdasarkan perkembangan kognitif ini, maka anak usia sekolah dasar pada umumnya mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang bersifat abstrak. Karena keabstrakannya matematika relatif tidak mudah untuk dipahami oleh siswa sekolah dasar pada umumnya. Untuk dapat membantu memperjelas apa yang akan disampaikan guru dan mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa, maka dibutuhkan media. Media difungsikan sebagai jembatan untuk menyampaikan informasi dari guru kepada siswa dengan tepat. Penggunaan media yang berupa alat peraga, yaitu sebagai jembatan atau visualisasi untuk memahami konsep abstrak. Media pembelajaran papan perkalian mampu mencapai ketuntasan belajar siswa kelas II pada mata pelajaran matematika materi perkalian dibuktikan dengan perbedaan antara hasil belajar siswa kelas II yang menggunakan media papan perkalian dengan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah dengan dibuktikan rata-rata hasil belajar siswa kelas II yang menggunakan media papan perkalian lebih baik daripada rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah pada mata pelajaran matematika materi perkalian.

Pembelajaran Berdiferensiasi, Memangnya penting?

Oleh: Farah Nur Nabila Seiring perkembangan zaman, gagasan-gagasan baru dalam dunia pendidikan terus tercipta. Pendidikan yang sedang terlaksana saat ini mulai diperbarui dan turut disesuaikan dengan kebutuhan tiap peserta didik. Peserta didik merupakan seorang pribadi yang pastinya memilliki karakteristik yang berbeda antar satu dengan yang lain. Apabila pembelajaran dilakukan monoton dan tidak variatif maka minat peserta didik untuk belajar akan menurun.  Oleh karena itu, pembelajaran harus disesuaikan dengan kesiapan, minat serta profil peserta didik. Guru harus mendesain rencana pembelajaran dengan memetakan kebutuhan murid terlebih dahulu,  melakukan pembelajaran yang menggiring minat murid, dengan tidak mengabaikan tujuan pembelajaran yang dicapai, hal inilah yang di maksud dengan konten dari pembelajaran berdiferensiasi. Senada dengan hal di atas, menurut Tomlinson (2000) pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid.  Berdasarkan modul guru penggerak oleh KEMENDIKBUD, orientasi pada kebutuhan murid merupakan landasan dari pembelajaran berdiferensiasi. Guru harus menciptakan lingkungan belajar yang memotivasi murid untuk belajar. Jika seorang guru telah menciptakan lingkungan belajar atau suasana yang kondusif membuat peserta didik termotivasi untuk belajar, niscaya permasalahan dan kendala yang akan dihadapi dalam proses pembelajaran dengan sendirinya akan hilang. Suatu asumsi yang masih perlu di luruskan apabila masih ada pendapat bahwa murid yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga seorang guru harus mendesain perencanaan pembelajaran yang berbeda-beda pula. Tidaklah demikian bahwa gurulah yang mengetahui kondisi dan kebutuhan muridnya di suatu kelas, dari berbagai macam karakter murid tersebut tentunya ada pilihan seorang guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai, maka pengalaman belajar dirancang sesuai dengan kebutuhan muridnya. Mendesain pembelajaran hendaknya sesuai dengan kebutuhan  belajar murid, seperti: sumber yang berbeda, cara yang berbeda dan penugasan serta penilaian yang berbeda. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan perpaduan dari pembelajaran klasikal, kelompok dan individual. Pembelajaran klasikal adalah pembelajaran yang dilakukan secara keseluruhan peserta didik di dalam kelas ikut terlibat mengikuti proses pembelajaran, guna membangun pemahaman bersama. Pembelajaran kelompok merupakan pembelajaran yang membangun kolaborasi dan eksplorasi untuk membangun kesepakatan bersama dalam memahami materi dalam kelompok kecil. Sedangkan pembelajaran secara individual adalah pembelajaran yang di perlukan dalam memenuhi kebutuhan murid secara perorangan untuk membangun kepercayaan diri dan mengeksplorasi pengetahuan yang ada pada murid. Yang paling penting ialah manajemen kelas yang efektif. Memperhatikan tiga elemen kurikulum pendekatan pembelajaran secara konten (masukan/ apa yang dipelajari murid), proses (bagaimana murid berupaya memahami ide dan informasi, dan produk (keluaran atau bagaimana murid menunjukkan apa yang telah mereka pelajari). Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdiferensiasi sangat perlu dilakukan oleh seorang guru, untuk itu guru mendesain rencana pembelajaran dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan belajar murid dan merespon kebutuhan belajar. Seorang guru hendaknya dalam merencanakan pembelajaran melakukan identifikasi kebutuhan belajar muridnya dengan komprehensif, agar dapat merespon kebutuhan belajar muridnya. Mengidentifikasi kebutuhan belajar murid setidaknya ada 3 aspek yang bisa dilakukan yaitu kesiapan belajar peserta didik, minat, dan profil belajar peserta didik. Dengan melakukan pembelajaran berdiferensiasi tentunya akan terpenuhi harapan dan kebutuhan. Pembelajaran akan menjadi bermakna karena murid terlibat langsung dalam proses pembelajaran. kegiatan pembelajaran akan terbangun suasana yang proaktif, sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Pengalaman belajar akan menuntut murid menemukan jalan pencapaian tujuan pembelajaran.

Upaya Meningkatkan Literasi Dasar Siswa

Oleh: Angga Dewi Cahyani Literasi dasar adalah kemampuan dasar dalam membaca, menulis, mendengarkan, dan juga berhitung, tujuannya untuk mengoptimalkan kemampuan seseorang dalam membaca menulis berhitung dan lancar berkomunikasi dengan sesama. Pada masa kini minat baca di Indonesia sangat rendah karena sekarang era modern dan perkembangan digital sangat pesat. Sekarang terdapat banyak anak yang lebih fokus ke digital terpacu dalam game online daripada membaca buku. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya minat baca siswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri, seperti pembawaan, kebiasaan dan ekspresi diri. Sementara faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri siswa atau faktor lingkungan, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Faktor eksternal ini mempengaruhi adanya motivasi, kemauan, dan kecenderungan untuk selalu membaca. Selain dari faktor tersebut, masih ada faktor yang mempengaruhi menurunnya minat baca, yaitu: Teknologi Informasi. Budaya literasi yang meliputi kebiasaan membaca masih kurang diterapkan di Indonesia (Kemendikbud,2016). Seperti dilansir Organization for Economic Co-operatin and Development (OECD) dalam laporannya tahun 2019 yang dilakukan oleh “Program for International Student Assessment (PISA), minat membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70.” (Rohim & Rahmawati, 2020). Terlihat dari hasil tersebut, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Membaca adalah komponen penting dari Pendidikan yang menyeluruh. Alhasil, Kemendikbud memiliki gagasan yaitu menyelenggarakan program gerakan literasi sekolah. Kegiatan “15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai” merupakan bagian dari gerakan literasi sekolah(Wandasari, 2017). Pada masa kini di Indonesia masih rendah minat baca nya maka pemerintah meluncurkan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada tahun 2015 sebagai jawaban atas rendahnya budaya literasi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Menurut Yorri Didit Setyadi et al.(2021) gerakan literasi sekolah ialah upaya pembiasaan peserta didik dalam kegiatan membaca. Pembiasan tersebut dilakukan sebelum pembelajaran dimulai dengan “membaca 15 menit buku nonpelajaran”. Gerakan literasi sekolah didasarkan pada peningkatan kemampuan membaca dan mendapatkan akses informasi (Febriastuti et al., 2021). Dalam pelaksananaanya dilakukan dengan waktu yang telah dijadwalkan, dan dilakukan penilaian terhadap dampak dari gerakan literasi sekolah agar diketahui dan dapat dikembangnnya. Literasi sekolah memiliki dua tujuan: umum dan khusus. Gerakan literasi sekolah bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa melalui budaya membaca sekolah (Kemendikbud ,2016). Tujuan dari gerakan literasi sekolah (GLS) menurut Afifah et al.(2020), adalah untuk menanamkan kecintaan dan menulis pada anak-anak sehingga karakter mereka berkembang. Gerakan literasi sekolah mempunyai prinsip-prinsip yang sesuai isi buku saku “Gerakan Literasi Sekolah” Kemdikbud (2016): (1) Ciri-ciri karakter siswa dipertimbangkan sambil menentukan tingkat instruksi yang sesuai. (2) Pemanfaatan berbagai teks, serta pertimbangan persyaratan siswa, harus menjadi bagian dari setiap implementasi. (3) Dalam semua aspek kurikulum, itu terintegrasi dan komprehensif. (4) Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan literasi berlangsung secara teratur; (5) Membutuhkan kemahiran dalam komunikasi verbal; (6) Jadilah terbuka untuk ide-ide baru. Menurut buku saku “Gerakan Literasi Sekolah”, ada tiga langkah untuk melaksanakan program literasi sekolah. Kemdikbud (2016): (1) Tahap pembiasaan; (2) Tahap pengembangan; (3) Tahap pembelajaran. Menurut Elendiana (2020), minat baca adalah sebuah keinginan atau dorongan dari dalam diri untuk tertarik dengan kegiatan membaca. Dalam prosesnya peserta didik perlu mendapatkan bimbingan yang dapat memotivasi agar tumbuhnya minat baca tersebut.

PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING BERBANTUAN MIND MAPPING TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS IV

Oleh : Sifaul Janah, S.Pd Pada tahun 2021 negara Indonesia masih dalam masa pandemi Covid-19. Segala bidang aspek kehidupan juga terkena imbasnya, mulai dari bidang kesehatan, ekonomi, budaya, dan juga pendidikan. Dalam bidang pendidikan sendiri proses pembelajaran merupakan salah satu yang terkena imbasnya karena harus dilakukan secara dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring), juga belum bisa dilakukan secara tatap muka keseluruhan siswa seperti biasanya (Kemdikbud. 2021). Hal ini sangat berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Setiap tahunnya pemerintah dan penyelenggara pendidikan melakukan perbaikan mutu pendidikan secara terus-menerus. Berkaitan dengan kinerja seorang guru dalam proses pembelajaran adalah bagaimana guru tersebut mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, selain itu guru juga harus mampu menilai hasil belajar siswa dengan baik (PP No. 57. 2021). Mata pelajaran IPA dipelajari untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam, dan kehidupan sehari-hari yang di alami. IPA adalah ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan gejala alam baik benda hidup maupun mati (Kumala. 2016: 6). Proses pembelajaran IPA yang akan dilakukan hendaknya dirancang terlebih dahulu dengan menggunakan prosedur yang ada, misalnya dengan model pembelajaran yang menyenangkan, media pembelajaran yang menarik dan lain sebagainya, sehingga nantinya siswa tidak akan merasa tertekan dalam pembelajaran dan siswa juga bisa menjadi lebih aktif untuk merespon pembelajaran baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu perlu adanya inovasi baru dalam penggunaan model pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa. Model pembelajaran yang akan digunakan oleh peneliti dalam upaya meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA materi energi adalah model pembelajaran problem solving (pemecahan masalah), nyata. Penggunaan model ini juga memberikan sebuah manfaat diantarnya dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah, serta dapat mengambil keputusan secara obyektif dan lebih rasional, kemudian model ini juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sikap toleransi siswa terhadap orang lain serta rasa hari-hati dalam mengemukakan pendapat. Model ini mampu memberikan pengalaman proses yang menarik dalam diri siswa (Shoimin, 2014 : 137). Tidak hanya menggunkaan model, bisa juga menggunakan media yang dapat menunjang keberhasilan yang hendak dicapai yaitu media mind mapping. Mind mapping adalah suatu teknik penyusunan catatan yang mana akan lebih membantu seseorang dalam menggunakan seluruh potensi otaknya agar lebih maksimal. Caranya, dengan menggabungkan kerja otak bagian kiri dan kanan. Metode ini akan mempermudah seseorang dalam memahami informasi yang akan diserap oleh otak (Puspita, 2012). Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran problem solving dengan mind mapping dapat memberikan pengaruh lebih baik dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa karena siswa diarahkan melakukan penyelidikan untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Siswa menganalisis, mendefinisikan masalah, mengumpulkan informasi, mengumpulkan referensi, sampai dengan merumuskan kesimpulan. Hal ini mampu membiasakan siswa untuk berpikir terlebih dahulu sebelum memecahkan masalah, bukan menerima penjelasan lalu berpikir. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lestari dkk (2017) tentang pengaruh model inkuiri terbimbing berbantuan mind mapping  terhadap pemahaman konsep ipa siswa. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Putri dkk (2018) tentang adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran problem solving terhadap pemahaman konsep siswa. Nabic et al (2013) mengungkapkan bahwa pemahaman konsep siswa yang diajarkan dengan menerapkan model pembelajaran problem solving memberikan pencapaian yang lebih baik dalam menyelesaikan  masalah, hal ini dinilai dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan penerapan model pembelajaran problem solving siswa terlatih untuk menyelesaikan masalah materi energi dengan konsep yang benar, hal ini memberikan kontribusi positif terhadap pemahaman konsep siswa.

Media Pembelajaran Inovatif

Oleh: Tri Ristianawati Arah pendidikan di Indonesia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memerlukan konsep “merdeka belajar”. Konsep kebebasan dan pembelajaran dipandang sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas sebagai sebuah ekspresi peserta didik dapat lebih mandiri, dapat belajar lebih banyak untuk mendapatkan pengetahuan. Belajar adalah kegiatan dimana seseorang berusaha mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan sumber belajar yang bermacam-macam. Penggunaan sumber belajar dalam hubungannya dengan lingkungan belajar yaitu bagaimana mentransfer atau mendistribusikan materi dari guru sesuai rencana sehingga peserta didik belajar secara efektif dan efisien. Di samping itu media pembelajaran juga berperan sangat penting di dalam keegiatan belajar. Media adalah alat untuk menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk mempermudah dan memperjelas penyampaian materi pembelajaran agar lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa. Pada artikel ini mari kita diskusikan mengenai pengertian, manfaat, jenis-jenis media pembelajaran, dan contoh media pembelajaran inovatif. Karena sifatnya teoritis, mungkin artikel ini agak membosankan. Tapi saya pikir konsep ini penting untuk dipahami agar kita memiliki landasan untuk mengembangkannya. Sudjana dan Rivai (2017:1) mengemukakan bahwa media pengajaran sebagai alat bantu mengajar dalam komponen metodologi, yaitu sebagai salah satu lingkungan belajar yang diatur oleh guru. Hamdani (2010: 244) menyebutkan bahwa media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran dapat dikatakan sebagai alat yang digunakan untuk merangsang siswa dalam proses belajar. Sudjana & Rivai (2017: 43) menyatakan kegunaan/manfaat media pembelajaran dalam proses pembelajaran yaitu: 1) Siswa akan merasa tertarik dengan pembelajaran tersebut dan dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik, 2) Bahan pembelajaran akan mudah dipahami, sehingga peserta didik dapat menguasainya dan mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, 3) Metode pembelajaran bervariasi dan tidak monoton sehingga membuat peserta didik tidak semakin bosan, 4) Peserta didik akan semakin aktif dalam pembelajaran. Dengan merujuk pada teori kognitif Piaget yang dapat diketahui bahwa anak usia sekolah dasar memasuki tahapan operasional konkret. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir dengan menggunakan logika namun masih dalam bentuk benda konkrit. Pada tahap ini anak dapat melakukan pengelompokkan, membandingkan tetapi belum sepenuhnya dapat memecahkan masalah abstrak. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan, karena dalam proses berpikirnya sudah mampu untuk menyusun serta mengkombinasikan berbagai hubungan secara logis sehingga dapat memahami kesimpulan tertentu. Dan pada usia ini, anak menunjukkan perilaku belajar, menurut Susanto (2016) yang ditandai dengan ciri-ciri: (1) anak dapat memandang dunia secara objektif; (2) anak dapat berpikir dengan benda konkrit; (3) anak dengan menggunakan berpikir operasionalnya dapat mengelompokkan benda-benda yang bervariasi berdasarkan tingkatannya; (4) anak dapat menghungkan sesuatu dengan menggunakan sebab akibat. Menurut (Briggs dalam Hamdani 2010: 243) media pembelajaran dapat berupa alat yang berfungsi untuk menyampaikan materi pengajaran yang meliputi buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (gambar), foto, gambar, grafik, televise, dan computer. Media adalah komponen sumber belajar yang berisi materi instruksional di lingkungan siswa, yang digunakan merangsang siswa untuk belajar. Menurut Hamdani (2011: 248) media pembelajaran dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) Media Visual. Media visual adalah media yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan indera penglihatan. Media visual terdiri atas media yang tidak dapat diproyeksikan (non projected visuals) dan media yang dapat diproyeksikan (project visuals). Contoh media pembelajaran yang dapat diproyeksikan adalah gambar diam (still pictures) atau bergerak (motion pictures). Sedangkan contoh media yang tidak dapat diproyeksikan adalah gambar tentang manusia, hewan, tumbuhan, atau lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran;  2) Media Audio. Media audio adalah media yang hanya dapat di dengar dengan menggunakan indera pendengaran yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhartian, dan kemampuan peserta didik dalam memahami bahan ajar. Contoh media audio dapat berbentuk seperti kaset suara dan radio; 3) Media Audio Visual. Media audio visual merupakan gabungan dari audio dan visual. Penyajian media audio visual pada peserta didik semakin kompleks dan optimal. Dalam menggunakan media audio visual, guru hanya sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan peserta didik dalam belajar. Contoh media audio visual adalah video, televise, dan program slide suara (soundslide). Contoh media pembelajaran inovatif adalah pengembangan media wayang hewan berkarakter. Menurut Mertosedono (1990: 6) wayang merupakan seni budaya atau hasil dari kreasi kebudayaan orang Jawa (bangsa Indonesia). Di dalamnya terdapat sebuah ajaran yang mencerminkan karakter dari manusia, sehingga sangat effektif sebagai saran penerangan, sarana pendidikan, dan sebagai hiburan. Menurut Prof. Kern (dalam Mertosedono 1994: 28) mengatakan bahwa wayang berasal dari kata wod dan yang. Yang mempunyai arti gerakan yang dilakukan berulang-ulang atau tidak tetap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikat wayang adalah bayangan yang bergerak secara bolak-balik atau berulang-ulang atau mondar-mandir tidak tetap pada tempatnya. Media wayang adalah alat perantara media visual yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi guru dengan siswa dalam menyampaikan materi dongeng yang digerakkan dengan tangan dan berbentuk gambar. Media wayang merupakan salah satu media yang tepat untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal, antara lain dengan warna-warna mencolok yang dapat menarik perhatiaan siswa, serta bentuk wayang yang lucu dapat menarik minat anak untuk memainkannya. Media wayang ini dapat membantu pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran menyimak cerita yang terbuat dari kertas yang berbentuk gambar kartun atau gambar asli yang diberi tangkai untuk menggerak-gerakkannya. Wayang yang digunakan bisa disesuaikan dengan tema cerita. Penggunaan media wayang dapat membuat pembelajaran menjadi menarik sehingga anak akan merasa senang dan tertarik untuk mendengarkan serta menyimak cerita. Media ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran pada materi dongeng serta dapat meningkatkan hasil belajar pada materi dongeng. Di samping itu media ini bertujuan untuk memberikan contoh karakter yang dibuat dan sesuai dengan cerita. Merujuk pada landasan teori media berbentuk kerucut oleh Edgar Dale diketahui bahwa pengalaman langsung akan memberikan informasi yang terdapat dalam pengalaman itu sendiri, serta melibatkan semua indra yang dimiliki. Media wayang hewan berkarakter memberikan pengalaman langsung kepada siswa terkait materi memahami teks bacaan dongeng. Hal ini dapat membuat siswa lebih memahami dengan materi yang disampaikan dan mampu mempengaruhi hasil belajar siswa. Jadi guru perlu menciptakan/merancang media pembelajaran yang inovatif sesuai dengan karakteristik materi, tujuan pembelajaran, dan metode yang digunakan sehingga dapat bermanfaat bagi peserta didik. Pengoptimalan … Baca Selengkapnya