Jowonews

Tiga Candi di Temanggung Yang Perlu Diketahui dan Dikunjungi

Tiga Candi di Temanggung Yang Perlu Diketahui dan Dikunjungi

Selain Magelang, situs-situs candi purbakala seperti candi juga banyak ditemukan di Kabupaten Temanggung. Meskipun beberapa situs tersebut ditemukan dalam kondisi yang tak lagi utuh, bahkan sebagian cenderung rusak. Keberadaan situs-situs candi tersebut juga dapat menjadi bukti bahwa Temanggung diperhitungkan sebagai wilayah Kerajaan Mataram Kuno, selain Yogyakarta dan Magelang. Berikut beberapa candi di Temanggung yang perlu diketahui dan menarik untuk dikunjungi. Candi Liyangan Situs Liyangan merupakan situs purbakala berupa candi dan kawasan pemukiman yang berlokasi di Lereng Timur Gunung Sindoro, tepatnya di pemukiman warga Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirojo. Lokasi candi berjarak sekitar 20 kilometer arah barat laut dari pusat kota Temanggung. Berdasarkan penelitian dan penggalian lebih lanjut yang dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta ada 2010 dan 2011, menyimpulkan bahwa Candi Liyangan merupakan candi besar, tetapi juga sebuah perdusunan pada masa Mataram Kuno. Situs ini memiliki karakter yang kompleks; indikasi sebagai situs pemukiman, situs ritual, sekaligus situs pertanian. Selain itu, usia situs Candi Liyangan lebih tua daripada Candi Borobudur. Pada situs ini terdapat punden berundak, talud, latar, kayu, area pertanian, tempat peribadatan, dan sisa bekas pembakaran. Candi Pringapus Tidak jauh dari Candi Liyangan juga terdapat Candi Pringapus. Candi Pringapus merupakan candi perwara bercorak Hindu. Hal ini disimpulkan dari keberadaan arca-arca berartistik HIndu yang erat kaitannya dnegan Dewa Siwa. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa Raja Rakai Pikatan. Pada area candi ditemukan arca Nandi dengan kondisi yang masih utuh, serta prasasti Tulang Air 1 dan 2 yang menyebut angka dan tahun pembuatannya, yakni Minggu Paing 15 Juni 850 M. Dicandi ini juga ditemukan arca Durga, antefik yang berelief kala, kemuncak, dan yoni. Candi Gondosuli Di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, terdapat reruntuhan batu andesit yang diperkirakan reruntuhan sebuah bangunan candi. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Candi Gondosuli. Di area reruntuhan candi ditemukan patung lembu, yoni, dan berbagai benda-benda purbakala lainnya. Menurut perkiraan, reruntuhan tersebut merupakan struktur puncak candi. Sementara struktur badan candi masih terkubur di bawahnya. Selain itu, di sekitar area candi juga ditemukan Prasasti Gondosuli yang jadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Mataram Kuno pada masa dinasti Sanjaya. Prasasti tersebut diperkirakan ditulisa pada tahun 832 M. Jika menilik pada segi arsitekturnya, Candi Gondosuli diperkirakan dibangun pada abad ke-9 M, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Patapan yang merupakan anak dari Sanjaya. Hingga saat belum diketahui secara pasti luas candi ini. Sebab kondisi bangunan sudah tidak lagi utuh, dan sebagian besar bangunan candi masih terpendam dalam tanah.

Ratusan Anak-anak di Magelang Abadikan Candi Muntilan dalam Gambar Kreatif

Ratusan Anak-anak di Magelang Abadikan Candi Muntilan dalam Gambar Kreatif

MAGELANG – Ratusan anak-anak tumpah ruah di pelataran Candi Ngawen. Mereka mengikuti lomba menggambar dan mewarnai yang termasuk dalam rangkaian Festival Candi Ngawen, pada Jumat (26/8/2022). Anak-anak peserta lomba terdiri dari dua jenjang ketegori. Kategori mewarnai diikuti anak-anak PAUD dan TK. Sementar lomba menggambar diikuti siswa-siswa usia SD atau MI dari kelas 4 hingga 6. Mereka berlomba untuk menangkap keindahan panorama Candi Ngawen dalam bentuk gambar kreatif. Berbagai objek pemandangan candi di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang tersebut kemudian tertuang dalam kertas gambar. Ada gambar candi, pohon, gapura, dan benda-benda lainnya di sekitar candi. Kepala Desa Ngawen, Hapsari mengatakan, lomba menggambar dan mewarnai ini diikuti dari berbagai sekolah di Kabupaten Magelang. Setidaknya ada sekitar 700 anak yang mengikutinya. Lebih lanjut, Hapsari mengungkapkan, Festival Candi Ngawen ini dilaksanakan selama tiga hari. Selain lomba menggambar dan mewarnai, juga dilaksanakan kirab budaya dengan mengarak 27 nasi tumpeng dan sego wiwit dari 10 dusun. Ketua Panitia Festival Candi Ngawen, Yuli Antaka Sajlis mengungkapkan, kegiatan tahunan ini dimaksudkan untuk memikat wisatawaan. Sebagai desa wisata berbasis masyarakat kunjungan wisatawan menjadi begitu penting. Foto: doc. borobudurnews.com

Situs Candi Ditemukan di Musuk Boyolali, Diperkirakan Peninggalan Zaman Hindu Budha

Candi Musuk Boyolali

BOYOLALI – Situs candi masuk benda cagar budaya ditemukan di Dukuh Tirtohardi, Desa Musuk, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali. Saat ini kondisi situs candi tersebut sebagian besar masih tertutup tanah. Masih dalam dugaan candi ini telah ada sejak zaman Hindu Budha. Di area situs tersebut ditemukan yoni dan bekas-bekas batu candi berbentuk segi empat yang berantakan. Diduga luas area candi sekitar 500 meter persegi. Namun, semua itu sedang dilakukan pengkajian pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Kabupaten Boyolali. Beberapa waktu lalu Disdikbud bersama tim peneliti cagar budaya Boyolali telah mengecek lokasi penemuan situs candi. Pengecekan untuk mengetahui seberapa adanya benda cagar budaya di lokasi tersebut. “Kami mengecek terlebih dahulu seberapa adanya benda cagar budaya di lokasi. Kami menemukan yoni dan ada seperti bekas-bekas batu candi yang berbentuk persegi empat yang berantakan di atas permukaan lahan lokasi penemuan,” kata Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali, Biyanto, dikutip dari krjogja.com, Kamis (27/8/2022). Selanjutnya, setelah dilakukan pengkajian pihaknya akan melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah setempat terkait tanah dimana situs candi tersebut berada. Ia belum dapat memberikan keterangan pasti berapa usia candi tersebut. Namun, dari lokasi telah ditemukan kode-kode tertentu yang dapat menunjukkan dugaan pada zaman apa candi dibangun. “Penemuan situs candi di Desa Musuk ini, belum bisa memberikan keterangan peninggal zaman kerajaan apa, tetapi diduga pada zaman Hindu Budha. Setelah ini, Disdikbud akan segera berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat yang berkaitan dengan keberadaan pemilik tanah,” katanya. Menurutnya, dari beberapa benda yang ditemukan, diperkirakan peninggalan Hindu Budha. Ada kemungkinan zaman itu, dijadikan tempat ibadah atau pemujaan. Namun masyarakat sekitar hingga sekarang belum berani menyentuh misalnya untuk upacara ritual tertentu. “Kami bisa menilai peninggalan candi Hindu Budha, karena ditemukan bagian benda dari candi yakni sebuah yoni,” katanya. Rendra Agusta sebagai meneliti cagar budaya mitra kerja Disdikbud Boyolali mengatakan temuan situs candi di Desa Musuk tersebut sejak 2000 oleh warga, kemudian dicatat dan dikaji oleh Disdikbud setempat. Penemuan situs batu candi di Musuk, kata Rendra, kemungkinan peninggalan zaman Hindu Budha bisa abad ke-7 hingga Ke-15 karena abad ke-16 memasuki kerajaan Islam dan kemungkinan candi sudah tidak dimanfaatkan lagi dan beralih fungsi. Menurut dia, fungsi dari kajian tersebut mengembalikan ke fungsi awal sebagai satu situs kebudayaan bahwa di Boyolali mempunyai situs yang penting sebagai bagian sejarah panjang kabupaten ini. “Temuan itu, ditetapkan situs candi, karena ditemukan bagian dari candi seperti Kemucak, zoni, dan lingga semu. Kami melihat itu, sudah tahu komponen bagian sebuah struktur candi. Walaupun kami belum tahu ukurannya sebesar apa. Candi itu, diduga zaman Hindu Siwa,” katanya. Foto: doc. krjogja.com

Lirik Mendung Tanpo Udan Chord dan Artinya dalam Bahasa Indonesia

Lirik Mendung Tanpo Udan Chord dan Artinya dalam Bahasa Indonesia

Lagu-lagu dalam bahasa Jawa akhir-akhir ini sering dijadikan backsound video reels Instagram maupun TikTok. Lirik Mendung Tanpo Udan Chord – Ndarboy Genk kini banyak dicari. Lagu Mendung Tanpo Udan diciptakan musisi Kukuh Prasetya Kudamai. Bahkan lagu ini sempat viral dan menjadi sorotan karena NCT Dream, Boyband asal Korea Selatan ikut menari menggunakan lagu ini. Lirik Mendung Tanpo Udan dan Artinya dalam Bahasa Indonesia Mendung tanpo udan..Mendung tanpa hujan… Ketemu lan kelangan..Ketemu dan kehilangan… Kabeh kui sing diaraniSemua itu yang dinamakan Perjalanan..Perjalanan… Reff : Awak.. dewe tau duwe bayanganKita pernah punya bayangan Besok.. yen wes wayah omah-omahanBesok kalau sudah berumah-tangga Aku moco koran sarunganAku membaca koran sambil mengenakan sarung Kowe belonjo dasteran..Kamu belanja sambil mengenakan daster Nanging.. saiki wes dadi kenanganNamun… sekarang sudah jadi kenangan Aku.. karo kowe wes pisahanAku… dan kamu telah berpisah Aku kiri kowe kananAku kiri kamu kanan wes bedo.. dalan..Sudah beda… jalan… Intro : Mlaku bebarengan..Berjalan bersamaan Ben dino sayang-sayangan..Setiap hari sayang-sayangan Sedih lan kebahagiaanSedih dan kebahagiaan dilewati.. tahun-tahunan..Dilewati.. bertahun-tahun Int. Padu meneng-menengan..Bertengkar saling mendiamakan.. Barkui kangen-kangenan..Setelah itu saling kangen-kangenan.. kadang bedo pilihanTerkedang berbeda pilihan Nganti.. pedot balikan..Sampai… berpisah balikan Mendung tanpo udan..Mendung tanpa hujan… Ketemu lan kelangan..Ketemu dan kehilangan… Kabeh kui sing diaraniSemua itu yang dinamakan Perjalanan..Perjalanan… Reff : Awak.. dewe tau duwe bayanganKita pernah punya bayangan Besok.. yen wes wayah omah-omahanBesok kalau sudah berumah-tangga Aku moco koran sarunganAku membaca koran sambil mengenakan sarung Kowe belonjo dasteran..Kamu belanja sambil mengenakan daster Nanging.. saiki wes dadi kenanganNamun… sekarang sudah jadi kenangan Aku.. karo kowe wes pisahanAku… dan kamu telah berpisah Aku kiri kowe kananAku kiri kamu kanan wes bedo.. dalan..Sudah beda… jalan… Musik :sya lala la..sya lala la.. Mendung tanpo udan..Mendung tanpa hujan… Ketemu lan kelangan..Ketemu dan kehilangan… Kabeh kui sing diaraniSemua itu yang dinamakan Perjalanan..Perjalanan… Reff : Awak.. dewe tau duwe bayanganKita pernah punya bayangan Besok.. yen wes wayah omah-omahanBesok kalau sudah berumah-tangga Aku moco koran sarunganAku membaca koran sambil mengenakan sarung Kowe belonjo dasteran..Kamu belanja sambil mengenakan daster Nanging.. saiki wes dadi kenanganNamun… sekarang sudah jadi kenangan Aku.. karo kowe wes pisahanAku… dan kamu telah berpisah Aku kiri kowe kananAku kiri kamu kanan wes bedo.. dalan..Sudah beda… jalan… Awak.. dewe tau duwe bayanganKita pernah punya bayangan Besok.. yen wes wayah omah-omahanBesok kalau sudah berumah-tangga Aku moco koran sarunganAku membaca koran sambil mengenakan sarung Kowe belonjo dasteran..Kamu belanja sambil mengenakan daster Nanging.. saiki wes dadi kenanganNamun… sekarang sudah jadi kenangan Aku.. karo kowe wes pisahanAku… dan kamu telah berpisah Aku kiri kowe kananAku kiri kamu kanan wes bedo.. dalan..Sudah beda… jalan… Chord Mendung Tanpo Udan – Ndarboy Genk

Jenis Motif Batik Solo dan Sejarahnya

Jenis Motif Batik Solo dan Sejarahnya

Motif Batik Solo – Batik merupakan Warisan Budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage (ICH) yang mendapat pengakuan dari UNESCO pada tahun 2009 lalu. Batik adalah salah satu budaya Indonesia yang telah dikenal sejak masa lalu. Bahkan, budaya membatik dipercaya telah ada di Indonesia sebelum abad ke-10. Keyakinan tersebut berdasar pada temua artefak kuno seperti patung atau pun relief candi yang menampilkan sosok yang mengenakan pakaian dengan ornamen batik. Surakarta atau Solo merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terkenal denga kerajinan batiknya. Salah satu karakteristik Batik Solo adalah warnanya yang elegan, kehalusan, kerumitan motifnya. Penggunaan warna sogan yang memiliki kecenderungan warna gelap merupakan ciri khas utama batik Solo. Warna ini merupakan kombinasi warna cokelat tua, cokelat muda, cokelat kehitaman, cokelat kekuningan hingga cokelat kemerahan. Berdasar dari salah satu sumber sejarah, Batik Solo telah berkembang sejak era Kerajaan Pajang sekitar tahun 1568. Primus Supriono melalu bukunya Ensiklopedia The Heritage of Batik, batik diperkenalkan kepada masyarakat di Desa Laweyan oleh seorang tokoh bernama Ki Ageng Henis. Tradisi membatik ini kemudian berlanjut pada era Kerajaan Mataram Islam yang kemudian pecah menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta atau Solo. Adapun daerah Laweyan hingga kini masih menjadi salah satu penghasil batik terbesar di kota tersebut. Adapun Batik Solo banyak disukai oleh masyarakat karena warnanya yang dianggap elegan. Pengaruh keraton membuat Batik Solo dikenal memiliki motif yang indah dan halus. Berikut ini beberapa Motif Batik Solo yang umum digunakan Motif Kawung Motif Kawung adalah salah satu ragam motif geometris. Pada mulanya, motif ini berkembang di dalam tembok keraton. Motif Kawung memiliki pola bulatan seperti buah kawung atau kolang kaling yang ditata secara geometris. Ada pula yang mengatakan motif kawung ini menyerupai bunga teratai dengan empat daun. Makna dari motif ini adalah sebuah perjuangan yang berbuah keberhasilan. Motif Ceplok Ceplok adalah motif batik dengan ragam hias berupa pengulangan bentuk geometri, seperti bulatan, persegi panjang atau persegi. Ragam hias tersebut ditata sedemikian rupa sehingga membentuk pola simetris. Motif ini biasa digunakan saat siraman pengantin. Motif Ceplok menyimbolkan bersatunya unsur-unsur baik seperti rezeki, kerukunan dan keturunan. Motif Parang Motif parang berbentuk lengkungan yang menyerupai ombak di laut. Jenis motif seolah membentuk seperti huruf S ini merupakan sebuah simbol atau perlambangan kekuasaan. Pada masa lalu batik motif parang hanya boleh digunakan oleh keluarga raja saja. Pada perkembangannya, motif ini memiliki turunan motif lain yang sejenis, sebut saja parang barong, parang rusak, parang klitik, parang kusumoa dan lainnya. Motif Sido Mukti Sido mukti adalah salah satu motif klasik dari Batik Solo. Nama ini diambil dari kata sido yang berarti menjadi dan mukti yang berarti mulia. Diharapkan seseorang yang mengenakan batik motif ini akan mendapat sebuah kemuliaan. Motif dasar dari sido mukti adalah bentuk gurda dengan isian berupa sawut, cecek, ukel dan cecek pitu. Ornamen penghias dalam motif ini biasanya berupa kupu-kupu, sayap kupu-kupu, bunga, takhta hingga singgasana. Motif Lereng Sama halnya dengan motif parang, motif lereng pada awalnya juga hanya dapat dikenakan oleh kalangan keraton. Ciri khas motif lereng adalah memiliki pola garis diagonal, memiliki pola sederhana namun dengan ornamen yang kecil dan rumit. Ragam hiasnya hanya dibatasi dengan motif parang atau lung-lungan.

Soto Kemiri, Kuliner Legendaris Khas Pati dengan Keunikan Rasa dan Penyajiannya

Soto Kemiri, Kuliner Legendaris Khas Pati dengan Keunikan Rasa dan Penyajiannya

PATI – Soto merupakan kuliner Indonesia yang populer di masyarakat. Bahkan sebagian daerah di Indonesia memiliki soto dengan keunikannya masing-masing. Termasuk diantaranya Soto Kemiri dari Kabupaten Pati. Sejarah Soto Kemiri Soto Khas Pati ini telah menjadi kuliner legendaris yang juga memiliki kisah yang unik. Konon pada masa lalu banyak warga yang tak mampu membeli daging atau ayam sebagai bahan dasar pembuatan soto. Sebagai gantinya warga menggunakan bumbu kemiri sebagai pengganti rasanya. Sementara sumber sejarah lain mengungkapkan bahwa nama Soto Kemiri diambil dari nama dukuh Kemiri, Desa Sarirejo, Kabupaten Pati. Pada masa lalu di dukuh tersebut merupakan hutan rempah-rempah Kemiri. Oleh sebab itulah kemudian dinamakan Soto Kemiri dan memang karena penjual sotonya berasal dari dukuh tersebut. Keunikan dan Kelezatan Rasa Soto Kemiri Dalam penyajiannya Soto Kemiri cukup sederhana. Dalam satu porsi soto biasanya terdiri dari semangkuk nasi, ditambahkan kecambah, bawang goreng, suwiran ayam, dan seledri. Selanjutnya mangkuk diguyur dengan kuah santan encer dengan bumbu kemiri dan berwarna kuning kunyit. Meskipun sederhana, namun kelezatan rasanya tak perlu diragukan lagi. Apalagi aroma rempah yang menguar dari kuah soto mampu membangkitkan selera makan. Soto ini memiliki rasa asin, manis dan gurih. Manis dari soto berasal dari kecap manis khas asli Pati yang terkenal enak. Hingga saat ini Soto Kemiri telah menjadi menu andalan masyarakat Pati dari berbagai kalangan. Selain rasanya enak, harganya juga murah. Soto ini menggunakan bahan dasar ayam kampung, sehingga cita rasanya lebih sedap dibandingkan soto pada umumnya. Selain itu, keunikan lainnya adalah cara penyajian. Saat akan dituangkan ke mangkuk nasi, beberapa kali kuahnya dikembalikan lagi dalam kuali kuah. Setelah nasi dirasa hangat, kemudian baru dituangkan lagi kuah untuk terakhir kalinya. Selain agar nasinya menjadi hangat adalah supaya bumbu lebih meresap pada nasi di mangkuk. Pada kenyataannya memang bumbu soto lebih meresap ke dalam nasi. Cara penyajian seperti ini juga telah menjadi ciri khas penyajian Soto Khas Pati secara turun menurun. Biasanya di warung Soto Kemiri juga terdapat lauk pendamping seperti aneka gorengan, dan aneka satai. Lokasi Soto Kemiri Di Kabupaten Pati, Warung Soto Kemiri tersedia di berbagai tempat. Beberapa di antaranya yang populer adalah SOto Kemiri Pak Lasdi di Jalan Kembang Joyo dan Soto Kemiri Pak Kribo di Jalan Kyai Saleh.

Ratusan Warga Desa Kalilunjar Banjarnegara Berebut Tumpeng Raksasa

Desa Kalilunjar Banjarnegara

BANJARNEGARA – Ratusan warga Desa Kalilunjar, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara tumpah ruah merebutkan tumpeng raksasa di halaman kantor desa setempat, pada Kamis (25/8/2022). Tumpeng raksasa setinggi 7,7 meter tersebut berisi nasi putih, nasi merah, nasi jagung dan aneka sayuran hasil bumi. Tumpeng tersebut juga berisi uang dengan total jutaan rupiah. Tradisi sedekah bumi ini diawali dengan prosesi kirab pusaka dan boyong oyot genggong dari kantor desa lama menuju kantor desa baru sejauh 1 kilometer. Oyot genggong adalah akar dari pohon genggong. Diameter pohon tersebut cukup besar menyerupai alat musik gong dalam gamelan. Prosesi turun menurun ini juga telah menjadi simbol desa. Dalam kirab ini warga setempat juga membawa aneka lauk pauk yang pada nantinya disantap bersama-sama di kantor desa. Kepala Desa Kalilunjar, Slamet mengatakan, tradisi turun temurun ini sengaja dilestarikan untuk mengangkat potensi budaya dan kearifan lokal. Ia juga berharap tradisi ini dapat menjadi destinasi wisata sekaligus menjadi ajang silaturahmi antar warga desa. Foto: iNews.id

Seri Babad Tanah Jawi: Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Kediri

Seri Babad Tanah Jawi: Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu adalah kerajaan yang bercorak Hindu, yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di Kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya, menurut catatan sejarah, Kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam Prasasti Pamwatan yang dikeluarkan oleh Airlangga tahun 1042. Hal ini semua dengan berita dalam Surat Calon Arang bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan Kediri merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Seperti telah dikisahkan pada bab sebelumnya, pada 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan, putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala, yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang jelas begaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi, dalam perkembangannya, hanya ada dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibu kota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga, Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Menurut Negarakertagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Jenggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga, dan menjadi ibu kota Jenggala. Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta (1178). Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, Putri Kerajaan Jenggala. Dengan demikian, akhirnya Jenggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Mengenai asal mula nama Kediri, ada yang berpendapat bahwa nama Kediri berasal dari kata kedi yanga artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan. Menurut kamus Jawa kuno Wojo Wasito, kedi berarti orang kebiri bidan atau dukun. Di dalam lakon wayang, Sang Arjuna pernah menyamar menjadi Guru Tari di negara Wirata, bernama Kedi Wrakantolo. Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kili Suci yang bertapa di Gua Selomangleng, maka kedi berarti suci atau wadad. Selain itu, kata Kediri berasal dari kata diri yang berarti adeg, angdhiri, menghadiri atau menjadi raja (bahasa Jawa Jumenengan). Nama Kediri banyak terdapat pada kesusastraan kuno yang berbahasa Jawa kuno, seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama, dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri, seperti Prasasti Ceber berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini, disebutkan, karena penduduk Ceber berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah tanah perdikan. Dalam prasasti tersebut, tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri,” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti ini, juga disebutkan mengenai nama Kediri yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur. Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo, sehingga raja meningglakan istananya di Katangkatang (tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri). Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugrah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga Prasasti Harinjing. Nama Kediri semula kecil, lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kediri tidak benyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan oleh Kerajaan Jenggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya Prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui. Sedangkan, urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal dalam Prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta Karya Chou Ku-Fei tahun 1178. Pada masa itu, negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatera. Saat itu, yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa adalah Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatera dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.