Jowonews

Logo Jowonews Brown

Indonesia Belum Siap Bergabung Dengan TPP

JAKARTA, Jowonews.com – Dalam kunjungannya ke Washington, Amerika Serikat (AS) pada Oktober lalu, Presiden Joko Widodo dikabarkan menyatakan Indonesia bermaksud untuk bergabung dalam blok Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP).

Kabar tersebut memunculkan respons dari sejumlah kalangan, termasuk pengusaha, karena di balik sejumlah keuntungan yang diperoleh jika bergabung dalam blok jasa dan perdagangan itu, juga ada hal-hal yang harus dipersiapkan dan diwaspadai.

Indonesia akan memiliki peluang mengembangkan pasar ke negara-negara maju yang tergabung di dalam blok yang diinisiasi oleh AS tersebut.

Namun, di sisi lain Indonesia juga harus mengikuti aturan main yang ditetapkan TPP, yang memiliki standar sangat tinggi. Indonesia juga sama sekali belum pernah terlibat dalam pembahasan rancangan kerja sama tersebut.

Artikel pada Jurnal Kajian Lemhannas RI edisi 16 November 2013 menjelaskan, TPP mendapatkan perhatian yang luas karena keberadaannya diarahkan untuk menghasilkan kesepakatan perdagangan bebas di Asia Pasifik dengan karakter yang sangat progresif.

Perjanjian di dalam TPP bersifat komprehensif, yang meliputi liberalisasi di semua sektor menyangkut barang, jasa dan investasi, di samping isu-isu lain seperti hak atas kekayaan intelektual (HAKI), kebijakan kompetisi dan fasilitasi perdagangan.

Dengan demikian, TPP adalah kesepakatan perjanjian perdagangan bebas dengan standar yang sangat tinggi, yang berada di atas standar kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas di WTO, APEC maupun ASEAN.

Terlepas dari beragam kekhasan dan daya tariknya, TPP kini secara luas dipandang sebagai alat politik dan ekonomi AS.

Lebih dari itu semua, kata jurnal itu, pemerintahan Barack Obama juga berupaya untuk menggunakan TPP sebagai instrumen tambahan untuk menekan Tiongkok agar lebih menyesuaikan diri terhadap standar keterbukaan ekonomi yang diinginkan AS.

TPP diinisiasi oleh AS dan memiliki 12 anggota yakni AS,Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Chile, Peru, serta empatnegara Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam.

Beberapa hal potensial dan diatur dalam kesepakatan yang terdiri dari 30 bab dan 6.000 halaman tersebut adalah akses barang ke pasar, akses produk pertanian, tekstil, fasilitasi bea cukai dan perdagangan, hambatan teknis perdagangan, jasa, investasi, jasa keuangan, e-commerce, telekomunikasi, belanja pemerintah, tenaga kerja, lingkungan, transparansi, dan Usaha Kecil Menengah.

Sebelum ada pernyataan ketertarikan pemerintah untuk bergabung dengan TPP, Indonesia tengah berada pada proses pembicaraan penyelesaian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), di mana negara-negara ASEAN lebih menjadi sentralitas dari konsep kerja sama tersebut.

BACA JUGA  Diduga Terlibat Penipuan CPNS, Polisi Segera Panggil Kepala SD Ujung-ujung

RCEP merupakan gagasan untuk mengintegrasikan kerja sama anggota ASEAN dengan negara-negara mitra dagangnya yakni Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Selandia Baru, dan Australia.

Klausul yang ada dalam RCEP dinilai jauh lebih lunak daripada TPP. Dalam proses perundingannya, RCEP jauh lebih transparan dan Indonesia telah turut serta sejak awal karena merupakan langkah lanjutan dari ASEAN+3.

Belum Saatnya Rektor Universitas Paramadina Firmanzah menyatakan saat ini belum saatnya Indonesia bergabung dalam TPP.

“Kita lihat poin terkait BUMN, jika Indonesia bergabung, nantinya pemerintah tidak lagi bisa meminta BUMN Indonesia untuk mengerjakan proyek penting nasional. Pemerintah harus memberikan perlakuan sama antara BUMN dengan swasta, termasuk swasta asing melalui proses lelang,” katanya.

Pemerintah juga tidak bisa mendorong peningkatan penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang karena kemitraan itu membuka peluang yang sangat terbuka untuk produk luar negeri melalui proses lelang.

Secara regulasi, katanya, Indonesia juga belum siap. Banyak aturan-aturan yang saat ini bertentangan dengan kesepakatan kerja sama tersebut. Juga berseberangan dengan Nawacita Presiden Jokowi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, salah satu permasalahan yang dianggap serius adalah perusahaan atau investor swasta asing bisa menggugat pemerintah karena negara dipandang hanya sebagai perusahaan mitra.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri(Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto menganjurkan pemerintah untuk mempelajari secara mendalam terkait untung-ruginya bergabung dengan TPP.

“Pemerintah harus mempertimbangkan manfaat maupun kerugian yang harus diterima Indonesia sebagai konsekuensi menjadi anggota TPP,” katanya.

Peneliti Senior INDEF yang juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Rina Oktaviani menyatakan seharusnya pemerintah mempertimbangkan secara matang terkait keinginan itu mengingat banyak kerja sama lain yang sudah diikuti oleh Indonesia namun tidak pernah dimanfaatkan secara maksimal.

“Banyak FTA yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, sekarang, pemerintah tidak mengajak bicara para asosiasi atau pelaku usaha,” kata Rina.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia tidak banyak diuntungkan bila masuk dan menjadi anggota TPP.

BACA JUGA  Sukarelawan Jokowi Perjuangkan Kemenangan Seno-Said Di Boyolali

“Indonesia akan dibanjiri barang-barang impor. Pelaku usaha Indonesia harus bersaing ketat dengan produk-produk pelaku usaha dari negara anggota TPP untuk merebut pasar di negerinya sendiri. Bila mereka tidak mampu bersaing maka mereka akan segera gulung tikar. Ini berarti penciutan lapangan kerja,” kata dia.

Hikmahanto mengungkapkan Indonesia memang pasar yang besar antara lain karena memiliki jumlah penduduk yang besar, tetapi Indonesia bukanlah tempat produksi.

Harapan Pebisnis Sementara itu, perusahaan pemasaran komunikasi global, Edelman, menyatakan pebisnis dan konsumen di negara peserta TPP mengharapkan Indonesia dapat bergabung dengan kemitraan mereka.

Agar siap menyongsong TPP, Kepala Pimpinan Manajemen Edelman Indonesia Raymond Silva mengatakan Indonesia harus mengambil langkah berani di berbagai sektor, termasuk sektor kekayaan intelektual, perlindungan lingkungan hidup, reformasi buruh, dan reformasi badan usaha milik negara.

Jika TPP diratifikasi, katanya, negara-negara anggota akan memiliki akses pasar yang lebih baik di tujuan-tujuan ekspor utama.

Edelman mensurvei 1.000 konsumen dan 1.000 pebisnis di 12 negara peserta TPP, kecuali Brunei Darussalam dan Peru, untuk mengkaji pemahaman dan pandangan seputar perjanjian yang akan diberlakukan serta dampak yang ditimbulkannya.

Dalam menyikapi keberadaan TPP, artikel dalam Jurnal Kajian Lemhannas RI itu merekomendasikan Indonesia tidak perlu tergesa-gesa untuk bergabung, mengingat banyaknya hal yang bersifat internal maupun eksternal yang harus dijadikan bahan pertimbangan.

Secara internal, ekonomi Indonesia sendiri belum cukup kuat untuk melibatkan diri dalam sebuah perjanjian perdagangan bebas yang sangat komprehensif dan mengikat, mengingat masih rendahnya daya saing ekonomi nasional secara umum dan banyaknya kelemahan dalam ekonomi domestik yang harus lebih dahulu dibenahi.

Pemerintah perlu meningkatkan keseriusan untuk memelopori usaha peningkatan daya saing ekonomi nasional dengan melibatkan semua pihak yang terkait, seperti pengusaha nasional, pengusaha di daerah, pemerintah daerah, dan masyarakat secara umum.

Indonesia juga perlu bersikap hati-hati dalam mmenyikapi TPP, mengingat keberadaan TPP tidak sejalan dengan prinsip sentralitas ASEAN yang selama ini menjadi landasan berpijak bagi politik luar negeri Indonesia dalam hubungan dengan negara-negara di Asia Timur maupun Asia Pasifik.

Menurut artikel tersebut, keberadaan RCEP jelas lebih tepat untuk didukung oleh Indonesia daripada TPP.  (Jn16/ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...