Jowonews

Menelusuri Jejak Agama Katolik di Museum Misi Muntilan

Menelusuri Jejak Agama Katolik di Museum Misi Muntilan

MAGELANG – Di Muntilan, Kabupaten Magelang, terdapat sebuah museum yang memiliki tujuan utama untuk menyimpan dan memamerkan jejak sejarah agama Katolik di Jawa, terutama di wilayah Jawa Tengah. Museum ini dikenal dengan nama Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner dan terletak di Jalan Kartini 3, Muntilan. Salah satu hal menarik yang dapat ditemukan di halaman depan museum ini adalah patung Romo Frans van Lith. Bangunan museum ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama digunakan sebagai ruang perkantoran, sementara lantai kedua merupakan tempat penyimpanan berbagai barang bersejarah yang berkaitan dengan agama Katolik, seperti jubah, peralatan misa, dan sebagainya. Di antara koleksi tersebut terdapat barang-barang peninggalan Uskup Agung Semarang pada masanya, Mgr Albertus Soegijapranata. Juga terdapat barang-barang dan tanda jasa yang dimiliki oleh Romo YB Mangunwijaya. Salah satu hal yang mencolok di museum ini adalah ruangan khusus yang menampilkan kursi, mimbar, dan altar yang pernah digunakan oleh Paus Paulus Yohanes II saat ia memberikan khotbah di Lapangan Dirgantara Jogja pada 10 Oktober 1989. Selain itu, museum ini juga memiliki merchandise dan materi khotbah yang disampaikan oleh Paus Paulus Yohanes II dalam Bahasa Indonesia, serta foto-foto dokumentasi dari acara tersebut. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner ini secara resmi diresmikan pada tanggal 14 Desember 2004 oleh Mgr Ignatius Suharyo, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang. Peresmian museum ini juga bertepatan dengan perayaan 100 Tahun Pembaptisan Sendangsono yang terjadi pada tanggal 14 Desember 1904. Meskipun museum ini dimiliki oleh Keuskupan Agung Semarang, lokasinya dipilih di Muntilan. Salah satu alasannya adalah untuk menghormati sejarah perkembangan agama Katolik di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Muntilan sendiri dianggap sebagai tempat di mana agama Katolik pertama kali tumbuh di Jawa. Adapun terkait pada saat itu adalah Romo van Lith. Museum ini memiliki koleksi yang beragam, dengan total sekitar 800 barang. Koleksi tersebut mencakup jubah, logam, medali, relik, wayang wahyu, alat-alat misa, dan masih banyak lagi. Salah satu jenis koleksi yang paling banyak adalah foto-foto yang mendokumentasikan sejarah agama Katolik di Jawa Tengah. Di antara koleksi tersebut, terdapat barang-barang bersejarah yang milik Monsinyur Soegi (Soegijapranata), termasuk kursi, alat-alat misa, aksesoris makan, cap tekan uskup, gong yang digunakan dalam perayaan, dan jubah. Selain itu, terdapat juga barang-barang peninggalan dari Romo YB Mangunwijaya, seperti jubah, sepatu, kamera, foto-foto, dan tanda jasa dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner ini terbuka untuk umum dari Senin hingga Jumat, dengan jam operasional mulai pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Pada hari Sabtu, museum dibuka mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Museum ini libur pada hari Minggu, kecuali ada kesepakatan sebelumnya untuk melayani kunjungan pada hari tersebut.

Jembatan Rel Lori Belanda di Desa Wisata Mranggen Klaten, Unik dan Masih Kokoh Hingga Kini

Jembatan Rel Lori Belanda di Desa Wisata Mranggen Klaten, Unik dan Masih Kokoh Hingga Kini

KLATEN – Desa Murangen, yang terletak di Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, memiliki banyak warisan bersejarah yang berasal dari zaman Mataram Kuno (abad ke-8-9 Masehi). Selain itu desa ini juga dikukuhkan sebagai desa wisata dikarenakan keindahan alamnya yang eksotis. Desa yang terletak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Kraten ini memiliki beberapa daya tarik wisata yang menonjol. Salah satu contohnya ialah sebuah jembatan yang digunakan sebagai jalur kereta api untuk mengangkut barang pada masa penjajahan Belanda. Jembatan yang memiliki panjang 50 meter ini berada di bagian selatan Dusun Kropakan. Di sekitarnya terdapat sumur dan benda-benda bersejarah dari masa Mataram. Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung ke Kecamatan Karangnongko, dengan lebar sekitar 1,5 meter. Bagian utama jembatan cor ditopang oleh dua pilar berbentuk kerucut, masing-masing setinggi sekitar 10 meter. Pilar-pilar yang terbuat dari batu kali yang tidak disemen ini menopang serangkaian batang jembatan yang terbuat dari rangka besi yang tebal dan berkarat. Jembatan ini menghadap ke sebuah lembah yang panjang dan sempit. Di ujung barat lembah terdapat mata air berwarna hijau toska, Umbre Kroman. Air mengalir di bawah jembatan dan sebagian masuk ke waduk Murangen. Untuk mencapai ngarai, wisatawan harus menuruni tangga sekitar 20 meter. Dilokasi ini belum tersedia petugas atau tiket masuk. Selain itu pengunjung juga bebas untuk mandi di Umbur Kroman. Terdapat sebuah gazebo di sebelah selatan dan utara Umbur Kroman terdapat gazebo yang terbuat dari kayu dan bambu. Dari gazebo tersebut dapat terlihat perbukitan, pohon kelapa, pepohonan lain dan warga yang melintasi jembatan. “Dulunya jembatan ini merupakan jalur kereta api yang mengangkut tebu ke PG Karanganom di Kecamatan Karanganom. Jembatan ini juga digunakan untuk mengangkut hasil pertanian pada zaman Belanda.” kata Pupun Prasetyo, tokoh pemuda Dusun Murangen RW 14 Desa Kropakan, dikutip dari Detik Jateng Sabtu (9/9/2023). Pupun Prasetyo menjelaskan bahwa meskipun jalan tersebut sudah tua, namun uniknya jalan tersebut masih bisa digunakan oleh warga desa. “Usia jembatan yang sudah tua bukan hanya karena rangka bajanya saja, tapi juga tiangnya. Tiang-tiang jembatan terbuat dari bambu, bukan baja. Tapi kondisinya masih bagus sampai sekarang,” lanjut Pupung. Pupung menambahkan bahwa jalur kereta api Belanda pernah melewati desanya. Jejak-jejak pondasi rel kereta api masih ada di sebelah timur sebuah sumur kuno yang berasal dari abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. “Pondasi rel kereta api ada di sebelah timur sumur. Di masa lalu, berbagai tanaman yang dibutuhkan oleh Belanda dibudidayakan di sini, seperti kelapa, kapas, dan cokelat,” tambah Mr Phupun. Bapak Mithran, Kepala Desa Mulangen, Kecamatan Jatinom, mengatakan bahwa jembatan tersebut merupakan peninggalan Belanda. Dulunya, jembatan ini merupakan jalur lori untuk mengangkut tebu. “Dulunya jembatan ini merupakan jalur lori untuk mengangkut tebu dari wilayah selatan, yaitu Karangnonko dan Jatinom. Tebu diangkut ke pabrik gula di Kecamatan Karanganom,” kata Miseran. “Setelah Belanda pergi, rel kereta api digunakan sebagai jembatan oleh penduduk setempat; pada tahun 1970-an, jembatan ini masih berlantai bambu dan alat pengaman dari bambu. Mithran berkata, “Seingat saya, bambu masih digunakan pada tahun 1970. Pada tahun 2014, dengan bantuan pemerintah, jembatan ini dicor dan pengamannya diganti dengan baja seperti yang kita miliki saat ini,” kata Mithran. Miselan menjelaskan bahwa daerah tersebut sedang digarap oleh desa untuk menjadi desa wisata yang disebut Water Hills. Surat keputusan kabupaten dan pokdarwi sudah selesai dibuat. “Namanya Desa Wisata Bukit Air. SK bupati dan pokdarwis sudah ada dan kami berharap kedepannya akan menjadi pusat wisata yang maju,” tambah Miselan yang akan segera memasuki masa pensiun.

Bedug Pendowo Purworejo, Penuh Sejarah dan Diklaim Terbesar di Dunia

Bedug Pendowo Purworejo, Penuh Sejarah dan Diklaim Terbesar di Dunia

Bedug Pendowo Purworejo merupakan bedug kuno yang menyimpan sejarah cukup panjang. Bedug yang diklaim terbesar di dunia ini pada dulunya biasa digunakan sebagai panggilan salat. Bedug tersebut berada di serambi Masjid Agung Darul Muttaqin, yang tepat berada di samping Alun-alun Purworejo. Pada zaman dahulu ketika Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi untuk memimpin wilayah Tanah Bagelen yang saat ini dikenal sebagai Kabupaten Purworejo. Sejarah Bedug Pendowo Saat itu, kata Katobi, Kanjeng Raden Tumenggung Tjokronegoro diutus dengan dukungan Patih Raden Tjokrojoyo untuk bertindak sebagai penguasa pertama Purworejo. Tak lama kemudian, Tjokronegor I juga membangun Masjid Agung Darul Muttaqin pada tahun 1830 Masehi. Setelah masjid selesai dibangun, penguasa mulai berpikir untuk membangun alat tanda datangnya shalat, maka dibuatlah bedug raksasa pada tahun 1834 Masehi. Pada masa itu penguasa membuat lomba atau sayembara untuk melihat siapa yang bisa membuat bedug dan membawanya ke masjid. Akhirnya atas arahan menantu Patih Tjokrojoyo, Muhammad Irsyadin, dibuatkan bedug dari pohon jati besar yang kokoh. Proses produksi bedug dilakukan di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi yang berjarak sekitar 11 kilometer dari Masjid Raya Darul Muttaqin yang terletak di sebelah barat Alun-alun Kota Purworejo. Diketahui bahwa bedug tersebut terdiri dari pohon jati tua yang berumur ratusan tahun dan memiliki lima cabang. Karena itulah disebut Bedug Pendowo, diambil dari nama boneka lima sosok Pandowo Limo. Setelah selesai, bedug diangkut melewati jalan yang terjal dan sulit dengan menggunakan tali dan batang kayu sebagai roda pengangkut. Untuk menghibur dan menyemangati para pekerja yang mengangkut bedug raksasa tersebut, terdapat hiburan berupa tarian tayub di setiap perhentian. Setelah melewati tujuh pilar, bedug akhirnya sampai di Masjid Agung. Bedug Terbesar di Dunia Dengan panjang rata-rata 292 cm, diameter depan 194 cm, dan diameter belakang 180 cm, bedug ini dianggap yang terbesar di dunia. Mengenai keliling bagian depan, panjang bedug ini adalah 601 cm dan keliling bagian belakang adalah 564 cm. Bagian depan dan belakang bedug ditutup dengan kulit sapi tua. Kemudian kulit yang menempel dipaku yang terbuat dari kayu. Jumlah paku depan 120 dan jumlah paku belakang 98. Untuk menjaga keawetan bedug yang berada di sisi selatan masjid tersebut, maka bedug hanya ditabuh setiap hari Jumat dan pada hari-hari besar keagamaan, termasuk Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Sebagai gantinya, sebuah bedug kecil yang terletak di serambi utara masjid ditabuh saat adzan salat lima waktu tiba.

Tempat Wisata Sejarah di Solo, Mulai Dari Istana Hingga Bunker Kuno

Tempat Wisata Sejarah di Solo, Mulai Dari Istana Hingga Bunker Kuno

Tempat Wisata Sejarah di Solo berikut bisa menjadi destinasi alternatif saat Anda berkunjung ke kota kelahiran Presiden Joko Widodo ini. Solo merupakan sebuah kota yang menawarkan berbagai macam destinasi wisata bagi para pengunjung. Kamu bisa menikmati wisata kuliner, budaya, alam, dan sejarah yang lengkap di kota ini. Dengan sejarahnya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mataram, Solo memiliki banyak peninggalan sejarah yang kini menjadi tempat wisata yang menarik. Jadi, apa saja wisata sejarah yang bisa kamu kunjungi di Solo? Berikut adalah sepuluh tempat wisata sejarah di Solo yang bisa kamu jelajahi. Tempat Wisata Sejarah di Solo Loji Gandrung Loji Gandrung merupakan gedung yang kini difungsikan sebagai rumah dinas Walikota Solo. Gedung yang memiliki ukuran 3.500 meter persegi itu terletak di dekat Stadion Sriwedari di Jalan Slamet Riyadi, Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Pada awalnya, gedung ini dimiliki oleh seorang warga Belanda dan dibangun pada tahun 1830. Loji Gandrung telah menjadi saksi dari beberapa peristiwa bersejarah, mulai dari digunakan sebagai markas oleh penjajah Jepang, digunakan oleh Jenderal Gatot Subroto untuk mengatur strategi perang, hingga menjadi tempat istirahat Presiden Soekarno saat berkunjung ke Solo. Benteng Vastenburg Benteng Vastenburg merupakan salah satu bangunan yang digunakan sebagai benteng pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff pada tahun 1755-1779. Setelah Indonesia merdeka, Benteng Vastenburg diubah fungsinya menjadi lokasi pelatihan TNI dan kini dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan konser, festival, dan acara lainnya. Langgar Merdeka Langgar Merdeka merupakan sebuah bangunan yang kini menjadi simbol Laweyan dan diyakini dibangun oleh komunitas keturunan Tionghoa pada tahun 1877. Saat pertama kali dibangun, bangunan tersebut digunakan sebagai pasar ganja. Namun, karena pendapatannya merosot, toko itu akhirnya bangkrut dan dibeli oleh H. Imam Mashadi, yang kemudian mengubahnya menjadi langgar untuk kegiatan keagamaan. Langgar Merdeka telah melewati berbagai periode sejarah yang panjang, sehingga diakui sebagai cagar budaya pada tahun 2012. Dengan pengakuan ini, setiap orang dilarang mengubah atau merusak bangunan fisiknya. Bunker Kuno Bunker ini terletak di bawah bangunan Dinas Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta yang terletak di kompleks Balai Kota Surakarta. Bunker dengan ukuran 16 x 24 meter ini ditemukan pertama kali pada tahun 2012 dan dipercayai telah dibangun pada abad ke-19. Menurut para pakar, bunker ini dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat penyimpanan uang dan perlindungan bagi orang Belanda. Pengunjung yang ingin mengunjungi Balai Kota Surakarta atau mengurus administrasi dapat mengunjungi bunker ini secara gratis. Gedung Djoeang Bangunan Djoeang terletak di Kedung Lumbu, Pasar Kliwon, Surakarta, berdekatan dengan Beteng Trade Center. Pada tahun 1876, Pemerintah Hindia Belanda membangun gedung ini dan menyelesaikannya pada tahun 1880. Saat awal dibangun, gedung ini berfungsi sebagai tempat pelayanan bagi tentara Belanda dan klinik karena dekat dengan Benteng Vastenburg. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi gedung ini beberapa kali berubah. Jepang kemudian menggunakan gedung ini sebagai markas, dan saat ini telah diubah menjadi tempat wisata. Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah pusat pemerintahan kerajaan Jawa yang telah memerintah selama beberapa abad di wilayah Solo. Keraton ini dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang rusak akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat memuat berbagai peninggalan bersejarah seperti patung, senjata, warisan kerajaan, dan sejumlah bangunan keraton yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Bagi para pengunjung yang berencana mengunjungi Keraton Surakarta, disarankan untuk datang di hari selain Jumat. Puro Mangkunegaran Kota Solo memiliki istana cantik dan besar tambahan dari Keraton Surakarta yang dikenal sebagai Puro Mangkunegaran. Puro Mangkunegaran adalah pilihan yang tepat bagi para wisatawan yang ingin mempelajari sejarah sambil berlibur di Solo. Ketika mengunjungi Puro Mangkunegaran, kita akan disuguhkan dengan taman yang luas dan dikelilingi oleh bangunan kuno bergaya Eropa yang dipadukan dengan arsitektur tradisional Jawa. Museum Bank Indonesia Museum yang terletak dekat Balai Kota Solo telah berdiri sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta. Setelah memasuki museum tersebut, pengunjung dapat melihat mesin cetak uang antik dan arsitektur bangunan yang sudah berusia ratusan tahun dengan gaya bangunan Eropa yang khas. Di museum ini, tersedia berbagai macam sumber daya untuk pendidikan dan pengunjung dapat melihat koleksi uang kuno yang masih terjaga dengan baik, termasuk seri wayang dari Hindia Belanda. Kampung Batik Kauman Tempat wisata Kampung Batik Kauman terletak dekat dengan jalan utama Slamet Riyadi dan Jalan Rajiman, tepatnya di Jalan Trisula III No.1, Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. Kampung Batik Kauman merupakan pusat batik tertua di Kota Solo. Dari sejarahnya, Kampung Kauman dulunya adalah tempat tinggal abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dan hingga sekarang tetap mempertahankan budaya atau tradisi membatik. Jika dibandingkan dengan Laweyan, batik-batik di Kauman lebih menampilkan motif atau model standar keraton. Di Kampung Batik Kauman, terdapat 30 industri batik yang masih berproduksi hingga saat ini. Ketika mengunjungi tempat tersebut, para wisatawan dapat membeli batik dengan berbagai motif dan juga melihat proses pembuatan hingga belajar membatik secara langsung. Kampung Batik Laweyan Di samping Kampung Batik Kauman, Kota Solo juga memiliki Kampung Batik Laweyan. Kampung ini memiliki luas 24.83 hektare dan dihuni oleh sekitar 2.500 penduduk, sebagian besar di antaranya bekerja sebagai pedagang atau pembuat batik. Keberadaan kampung ini sebagai simbol batik Kota Solo tidak terlepas dari peran Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi. Kini, Kampung Batik Laweyan telah memiliki 250 motif batik yang resmi dipatenkan. Selain menjadi simbol batik di Kota Solo, Kampung Batik Laweyan juga menawarkan arsitektur yang menarik dengan penggabungan gaya Eropa, Jawa, China, dan Islam.

Rumah Oei Lasem Rembang, Destinasi Wisata Kuliner hingga Sejarah

Rumah Oei Lasem Rembang, Destinasi Wisata Kuliner hingga Sejarah

Rumah Oei Lasem Rembang merupakan salah satu destinasi yang tak asing lagi di telinga para wisatawan. Rumah Oei kini telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata kuliner dengan beragam menu makanan seperti anek penyet, rujak, bubur, ice cream, gado-gado dan lain sebagainya. Selain itu, Rumah Oei juga menyedikan oleh-oleh khas Lasem, aneka jamu, jajanan tradisional, dan tidak ketinggalan juga kopi lelet khas Lasem yang banyak diburu wisatawan. Di bagian depan Rumah Oei adalah tempat yang cocok untuk bersantai sambil menikmati hidangan lezat. Suasana di sana sangat tenang karena ditumbuhi pohon mangga yang rimbun. Meja-meja juga tersedia di halaman rumah. Teras rumah ini luas dan panjang. Pintu utama terbuat dari kayu berwarna coklat dengan ukiran aksara kanji Cina berwarna emas. Warna coklat tersebut serasi dengan empat jendela yang mengelilingi pintu utama. Jika jendela dibuka, dapat terlihat bagian dalam rumah. Terdapat meja kursi dan lemari kaca. Dindingnya dihiasi dengan foto-foto klasik yang kebanyakan berwarna hitam putih. Di bagian belakang terdapat bangunan penginapan dengan desain arsitektur yang sama dengan nuansa klasik. Berdiri Sejak Tahun 1818 Sejak tahun 1818, bangunan ini telah berdiri kokoh. Di dindingnya terdapat cerita tentang sejarah rumah ini. Oei Am, yang lahir di Tiongkok pada tahun 1798, adalah pemilik rumah ini. Saat usianya 15 tahun, ia merantau ke pesisir Lasem dan pada usia 17 tahun, ia menikahi Tjioe Nio, seorang gadis Lasem yang mahir menari dan membatik. Pada tahun 1818, Oei Am dan istrinya mendirikan rumah di Jalan Jatirogo 10, yang kini dikenal sebagai Rumah Oei. Sebelumnya, Rumah Oei adalah sebuah rumah keluarga besar, tetapi sekarang telah berubah menjadi museum, food court, pusat seni, dan penginapan di Rembang. Meskipun Rumah Oei telah berusia 200-an tahun, konstruksinya masih asli, dengan kayu-kayu yang tidak diubah. Bangunan khas China kuno abad ke-17 dan ke-18 ini terlihat sederhana namun tetap megah. Desain interior Rumah Oei masih sama seperti semula, termasuk bangku-bangku rotan yang terdapat di dalamnya. Foto-foto keluarga Oei juga terpajang di hampir setiap sudut depan rumah. Pada salah satu sudut dinding, terdapat syair Joyo Boyo yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan Inggris, serta primbon Jawa dan shio China yang menggabungkan unsur-unsur China dan Jawa. Kaum Tionghoa yang Peduli pada Bangsa Ketika para pelancong berkunjung ke tempat tujuan wisata ini, mereka akan merasa seolah-olah sedang melakukan perjalanan melintasi waktu yang memberikan pengetahuan. Sebagai seorang tokoh terkemuka dalam komunitas Tionghoa, Oei Am juga terlibat dalam upaya mempertahankan kehormatan bangsa dan negara. Salah satu dari upaya tersebut adalah ketika ia ikut serta dalam pertempuran selama lima hari di Semarang pada tahun 1965. Meskipun Rumah Oei sempat kehilangan identitasnya, namun pada masa reformasi di era pemerintahan Presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gusdur, berbagai atribut Tionghoa berhasil dikembalikan ke masyarakat. Pada rentang waktu 2016-2018, Rumah Oei direnovasi oleh Oei Lee Giok (Grace Widjaja) sebagai generasi ketujuh dari keluarga Oei, dengan tujuan untuk memperkenalkan rumah tersebut kembali kepada masyarakat Indonesia sebagai pusat edukasi, seni budaya, dan tempat wisata kuliner Lasem Kabupaten Rembang.

Masjid Kelenteng Salatiga, Gambaran Akulturasi Budaya dan Toleransi

Masjid Kelenteng Salatiga, Gambaran Akulturasi Budaya dan Toleransi

Masjid Kelenteng Salatiga merupakan masjid bernuansa kelenteng dengan warna merah menyala. Masjid ini penuh dengan ornamen China, sehingga membuat masjid ini kian menarik. Melewati Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga akan ada bangunan yang menarik perhatian karena warnanya yang sangat mencolok, selain itu juga bentuk bangunan yang unik selintas terlihat seperti kelenteng tempat ibadah warga Tionghoa. Namun jika diperhatikan lebih dekat, dan membaca papan nama bertuliskan Masjid Klenteng (Masteng) yang menjadi penjelas bahwa bangunan tersebut adalah Masjid tempat ibadah umat Islam. Masjid Kelenteng berlokasi di Jalan Abiyoso No. 14 Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Pengelola masjid ini, Cholid Mawardi mengatakan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 2005 oleh Yusuf Hidayatullah setelah pulang dari tanah suci. Beliau adalah seorang Tionghoa yang menjadi mualaf. Beliau juga pengusaha makanan khas Salatiga yaitu enting-enting gepuk Bangunan masjid ini memiliki ornamen Tionghoa yang didominasi warna merah dan dihiasi lampion. Di depan bangunannya berdiri gagah gapura besar berkelir merah dipadu kuning cerah. Selepas Yusuf Hidayatullah meninggal dunia, tanah seluas 1.700 meter persegi yang terdapat bangunan masjid Klenteng, dibeli kakak Cholid, Agus Ahmad pada akhir tahun 2020. Sampai saat ini bangunan masjid tetap dipertahankan sesuai bentuk aslinya karena unik yang merupakan gambaran akulturasi budaya yang sesuai dengan Kota Salatiga, yakni toleransi. Sampai saat ini banyak sudah pengembangan yang dilakukan untuk pemberdayaan serta pendidikan, seperti aula aula yang diberi nama Aula H. Zaenal Abidin tetap dengan corak serta dekorasi Tionghoa. Selain itu juga terdapat Pondok Pesantren Entrepreneur yang saat ini sudah ada 35 santri yang mondok. Mereka dari pagi hingga malam selalu mengisi kegiatannya di Masjid Klenteng, mulai dari shalat hingga mengaji bersama. Setelah alih tangan, Masjid Klenteng diwakafkan untuk masyarakat. Saat Bulan Ramadhan banyak kegiatan keagamaan dilaksanakan di sini seperti tarawih, buka bersama, dll.

Keliling Solo? Ini Jadwal dan Rute Bus Werkudara

Keliling Solo? Ini Jadwal dan Rute Bus Werkudara

Keberadaan bus Werkudara menambah daya pikat bagi kota Solo. Bus ini bisa digunakan wisatawan untuk berkeliling kota Solo. Bus wisata ini hanya beroperasi di akhir pekan yaitu Sabtu dan Minggu. Jam operasional bus Werkudara adalah pukul 09.00 WIB, 12.30 WIB dan 15.30 WIB. Tarif bus Werkudara sangat terjangkau, hanya Rp 20.000/orang. Jika ingin naik bus Werkudara, Anda harus melakukan pemesanan terlebih dahulu. Cara pemesanan tiket bus Werkudara dengan mendatangi Kantor Dinas Perhubungan Kota Solo yang berlokasi di Jl Kementerian Supeno No 7, Manahan, Solo. Bus Werkudara dapat menampung hingga 43 penumpang. Rute bus Werkudara meliputi rute keberangkatan dan rute pulang. Rute berangkat melalui Jl. Menteri Supeno No.7 (Kantor Dishub) – Jl. Adi Sucipto (Stadion Manahan) – Jl. Ahmad Yani – Jl. Slamet Riyadi (Loji Gandrung, Museum Radya Pustaka, Museum Batik Danar Hadi, Batik Kauman) – Jl. Urip Sumoharjo (Pasar Gede) – Jl. Kol. Sutarto – Jl. Ir. Sutami (UNS) – Jurug (Kebun Binatang Taman Jurug). Rute pulang melalui Jurug (Kebun Binatang Taman Jurug) – Jl. Ir. Sutami (UNS) – Jl. Kol. Sutarto – Jl. Urip Sumoharjo – Jl. Jend. Sudirman (Benteng Vastenburg) – Jl. Sunaryo (Galabo, Pusat Grosir Solo, Beteng Trade Center) – Jl. Kapten Mulyadi (Pasar Kliwon) – Jl. Veteran – Jl. Bhayangkara – Jl. Dr. Rajiman – Jl. Dr Wahidin – Jl. Dr Moewardi (Kota Barat) – Kantor Dishub.

Rekomendasi Wisata Kudus Di Momen Liburan Tahun Baru

Rekomendasi Wisata Kudus Di Momen Liburan Tahun Baru

Banyak orang memanfaatkan libur tahun baru untuk pergi berlibur bersama keluarga. Beberapa tempat wisata Kudus, Jawa Tengah ini mungkin bisa menjadi salah satu destinasi liburan tahun barumu saat berada di Kota Kretek ini. Empat Rekomendasi Wisata Kabupaten Kudus Bukit Sepuser Kawasan Wisata Bukit Sepuser terletak di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus. Daya tarik wisata ini adalah pemandangan alam sangat indah dari ketinggian. Suasana khas udara pegunungan alami yang sangat segar membuat tempat wisata ini semakin digemari oleh berbagai kalangan. Tiket masuk kawasan Bukit Sepuser hanya 2000 rupiah saja. Namun, untuk wisata berkemah harganya berbeda. Taman Pijar Taman Pijar merupakan wisata alam hutan pinus dengan pemandangan yang menawan dan indah dengan udara sejuk yang segar. Taman Pijar terletak di lereng gunung Muria di desa Kajar, kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Destinasi wisata ini sangat cocok untuk berwisata keluarga. Di sana, wisatawan akan disuguhi pemandangan alam pegunungan yang sangat indah dengan spot foto yang cantik. Ada juga taman bermain atau arena bermain khusus untuk anak-anak. Bagi yang suka kulineran, Di Taman Pijar juga tersedia puluhan UMKM yang menjajakan dagangannya. Selain itu, terdapat restoran yang menyajikan menu premium dengan perpaduan menu makanan lokal, seperti getuk kajar dan aneka olahan kopi Tjolo. Wisatawan juga bisa bermalam, baik menggunakan tenda-tenda yang disediakan pengelola atau di pondok-pondok glamping yang ciamik. Harga tiket masuk objek wisata ini sangat terjangkau dengan beragam fasilitas yang ditawarkan yaitu Rp 15.000 dan tempat parkir Rp 5.000 untuk sepeda motor dan Rp 10.000 untuk mobil. Museum Kretek Museum Kretek Kudus merupakan wisata edukasi yang terletak di desa Getaspejaten, kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Jika berangkat dari pusat kawasan Simpang Tiga Kudus, bisa ditempuh sekitar 10 menit. Tempat wisata yang dikelola pemerintah Kabupaten Kudus ini memiliki ratusan koleksi yang menceritakan kisah kretek di Kudus. Museum Kretek memiliki banyak koleksi sejarah kretek mulai dari rokok, alat tembakau, pendiri pabrik tembakau di Kudus, produk tembakau dari masa ke masa. Tidak hanya eksplorasi sejarah, tapi juga kolam renang anak. Ada juga replika rumah adat Kudus di kompleks taman. Saat berkunjung ke Museum Kretek, wisatawan harus membayar harga tiket masuk Rp 4.000 untuk hari biasa dan Rp 5.000 untuk hari libur. Harga tiket masuk ini hanya untuk perorangan. Museum Situs Purbakala Patiayam Museum Situs Purbakala Patiayam terletak di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Seperti namanya, museum ini menyimpan ribuan koleksi situs sejarah kuno di kawasan perbukitan Patiayam. Di ruang pameran terdapat berbagai jenis fosil hewan purba yang dapat dilihat wisatawan. Mulai dari gading purba, fragmen kerang purba, kerbau purba hingga beberapa fosil lainnya. Replika utuh kerangka manusia dan gajah purba juga dipamerkan. Ada juga penjelasan dan pemandu wisata dari pegawai museum, yang dapat membantu menginformasikan koleksi Museum Purbakala Patiayam.