Jowonews

Jenang Lot Karya Sari, Jenang Kenyal Oleh-oleh Khas Magelang

Jenang Lot Karya Sari, Jenang Kenyal Oleh-oleh Khas Magelang

MAGELANG – Kabupaten Magelang selain menyajikan pesona alam yang memikat, juga memiliki kuliner khas yang patut untuk dicoba. Selain gethuk, di Magelang juga terdapat Jenang Lot yang dapat dijadikan oleh-oleh. Makanan yang terbuat dari campuran tepung beras ketan, gula pasir, gula Jawa, dan santan ini memiliki rasa manis dengan tekstur padat dan kenyal. Salah satu produsen Jenang Lot yang terkenal di Magelang adalah Karya Sari yang dirintis sejak tahun 2002 silam. Usaha ini didirikan Mbah Syamsuri, warga Dusun Bojong, Desa Mendur, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Jenang Lot buatan Mbah Syamsuri ini mulai populer saat ada keluarga dari luar Jawa yang mudik, kemudian menjadikan Jenang Lot ini sebagai buah tangan. Saat itulah mulai banyak yang mencicipi dan banyak yang mengatakan bahwa Jenang Lot rasanya sangat enak. Cucu Mbah Syamsuri, Vina Kusumaningrum mengungkapkan, pada awalnya kakeknya membuat jenang hanya untuk konsumsi pribadi dan keluarganya saja. Jenang Lot Mbah Syamsuri ini lalu dikembangkan dan dijadikan usaha keluarga oleh anak dan cucunya untuk dijual sebagai oleh-oleh khas Magelang. Seiring perkembangan waktu, Jenang Lot Karya Sari ini tak hanya menjual jenang saja, melainkan juga menjual wajik dan krasikan. Salah satu hal menarik dari Jenang Lot Karya Sari ini adalah menggunakan peralatan tradisional dalam proses pembuatannya. “Bahan bakunya kami buat sendiri, mulai dari beras yang kami giling sendiri agar jadi tepung, santan yang kita giling dan dibuat jadi santan, hanya gula jawa saja yang tidak kami produksi sendiri,” ujar Vina, dikutip beritamagelang.id, Sabtu (30/7). Foto: Doc. beritamagelang.id

Sega Tiwul, Kuliner Legendaris Hasil Kreativitas di Masa Penjajahan

Sega Tiwul, Kuliner Legendaris Hasil Kreativitas di Masa Penjajahan

Apakah kamu pernah menikmati Sega Tiwul? Jika kamu berkunjung ke pasar-pasar tradisional Jawa Tengah atau Yogyakarta, khususnya Wonogiri dan Gunung Kidul, mungkin kamu akan mendapati kuliner tradisional ini. Makanan ini terbuat dari bahan dasar singkong yang dijemur hingga kering. Masyarakat setempat menyebutnya gaplek. Gaplek yang telah benar-benar kering, ditumbuk halus dan kemudian dikukus hingga matang. Dari dulu hingga kini, tiwul dikenal sebagai jajanan pasar yang sangat merakyat. Biasanya penjual tiwul menjajakannya sejak subuh hingga menjelang siang hari. Di pasar tradisional, biasanya cemilan manis ini dibungkus menggunakan daun pisang dengan porsi yang kecil. Sehingga sangat cocok sebagai pengganjal perut di pagi hari. Selain sebagai jajanan, pada beberapa daerah tiwul juga pernah/menjadi makanan pokok pengganti nasi karena lokasinya yang tandus. Nasi Tiwul atau yang biasa disebut dengan Seqa Tiwul ini juga dikonsumsi bersama dengan lauk pauk dan sayuran. Sejarah Tiwul, Makanan Pokok Masa Penjajahan Jepang Jika menelisik sejarahnya, tiwul sebenarnya adalah kuliner yang muncul saat kondisi ekonomi sedang sulit. Saat harga beras mahal, konon masyarakat mengonsumsi tiwul agar perut tetap kenyang. Kondisi ini terjadi pada era penjajahan Jepang dan pada era tahun 1960-an. Tak seperti yang kita jumpai sekarang, pada masa lalu tiwul juga dimakan selayaknya makanan pokok seperti nasi. Disajikan bersama dengan lauk pauk serta sayuran. Sementara yang kita jumpai sekarang ini, tiwul pada umumnya dikonsumsi bersama dengan parutan kelapa dan siraman gula merah. Selain itu, biasanya juga disajikan dengan makanan pelengkap lainnya seperti ketan hitam, jagung rebus pipilan, dan singkong rebus yang diserut. Sega Tiwul, Makanan Pokok Saat Musim Kemarau Saat musim kemarau di daerah tandus seperti sebagian wilayah Wonogiri, dan Sukoharjo. Masyarakat yang kesusahan menanam padi, biasa menjadikan tiwul biasa sebagai makanan pokok pengganti nasi. Salah satunya adalah masyarakat di Dusun Kalisonggo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo. Tak jarang masyarakat di dusun itu menyantap tiwul sepanjang tahun. Dusun Kalisonggo memang dikenal sebagai daerah tandus. Tanaman yang dapat tumbuh di daerah tersebut hanya palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan singkong. Dalam penyajiannya, untuk menghemat pengeluaran, biasanya masyarakat mencampur tiwul dengan perbandingan satu banding dua. Cara Pembuatan Tiwul Tiwul terbuat dari singkong yang dijemur hingga kering, atau biasa disebut gaplek. Gaplek ditumbuk hingga halus, kemudian dikukus hingga matang. Hasil kukusan inilah yang disebut dengan tiwul. Ketika dikonsumsi sebagai makanan pokok, tiwul dapat dihidangkan bersama lauk pauk antara lain tempe gembus goreng, sayur lombok ijo, dan sambal. Tiwul Kaya Akan Gizi Walaupun pada masa lalu tiwul identik dengan makanan orang miskin, bukan berarti kadar gizi dalam tiwul rendah. Kepala Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kusnandar memastikan kalau kandungan karbohidrat tiwul ternyata tidak jauh berbeda dari beras. “Tidak selalu harus makan nasi. Bisa diganti dengan singkong (bahan utama tiwul) dan jagung,” ungkap Kusnandar.

Soto Gerabah Solo, Kuliner Unik Warisan Budaya Kerajaan Majapahit

Soto Gerabah Solo, Kuliner Unik Warisan Budaya Kerajaan Majapahit

Soto merupakan kuliner khas Indonesia yang kaya akan rempah. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki hidangan berkuah yang menyegarkan ini. Uniknya rasa soto pada masing-masing daerah ini memiliki cita rasa yang berbeda. Sebagai contoh, Solo, Jawa Tengah, memiliki kuliner Soto Gerabah dengan penyajiannya yang unik. Meski soto pada awalnya tercipta dari akulturasi budaya Cina, namun dari hasil kreativitas masyarakat di Indonesia ini terciptalah beragam varian soto dengan keunikannya masing-masing. Bahkan soto ini telah lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Salah satu varian soto yang agak berbeda dengan varian lainnya adalah Soto Gerabah. Sesuai namanya, soto ini disajikan menggunakan mangkuk yang terbuat dari gerabah. Tak hanya mangkuknya saja yang tradisional, peralatan lainnya seperti sendok, garpu, piring, hingga gelasnya juga terbuat dari tembikar. Konon, soto yang disajikan pada tembikar ini mampu menguarkan aroma dan rasa yang khas. Berbeda dengan soto pada umumnya yang disajikan di wadah mangkuk kaca atau keramik. Ternyata tak hanya peralatan makannya saja yang terbuta dari gerabah, Seluruh peralatan memasak juga terbuat dari bahan yang sama. Sebut saja seperto kuali, spatula, centok, dan perlengkapan lainnya. Perawatannya seluruh perlengkapan ini juga uniik, karena berbeda dengan peralatan masak pada umumnya yang terbuat dari aluminium atau pun plastik. Oleh karena itu, setelah digunakan maka perlengkapan masak ini langsung dicuci. Hal ini karena kebersihan dan perawatan alat masak dapat mempengaruhi cita rasa Soto Gerabah. Dipercaya cara makan menggunakan peralatan dari bahan gerabah ini merupakan warisan budaya sejak zaman kerajaan Majapahit. Cita Rasa Soto Gerabah Seperti halnya soto lain di daerah Jogja, Solo, dan Semarang (Joglosemar), Soto Gerabah disajikan bersama nasi, suwiran ayam, sayur sawi, bawang goreng, irisan kentang goreng, dan bihun dalam satu mangkok. Selanjutnya soto tersebut diguyur dengan kuah bening. Cita rasa soto ini sangat gurih, hasil perpaduan dari rempah-rempah ramuan tradisional. Kelezatan soto ini tak bergantung pada penggunaan penyedap rasa. Salah satu aroma yang dominan dari soto khas Solo ini adalah aroma bawang putih yang kuat. Soto ini sangat cocok dinikmati bersama dengan tempe goreng, satu telur puyuh, atau perkedel. Untuk memperkuat rasa dan aroma, kamu bisa menambahkan jeruk nipis, sambal cabai, atau kecap yang biasanya diletakkan di atas meja makan. Sumber Referensi: Indonesia Kaya

Brekecek Pathak Jahan Khas Cilacap, Kuliner Kepala Ikan dengan Rasa Gurih Pedas

Brekecek Pathak Jahan Khas Cilacap, Kuliner Kepala Ikan dengan Rasa Gurih Pedas

Terletak di bibir pantai, Kabupaten Cilacap, menjadi salah satu kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan kuliner lautnya. Salah satu kuliner di Cilacap yang patut dicoba adalah Brekecek Pathak Jahan. Kuliner yang berbahan dasar kepala ikan ini dimasak dengan berbagai macam rempah pilihan. Maka tak heran jika aroma rempah yang dihasilkan sangat kuat. Rasa yang dihasilkan cenderung pedas dan gurih yang meresap ke dalam daging. Meskipun kuliner ini telah lama populer di kalangan masyarakat Cilacap, Brekecek Pathak Jahan baru secara resmi ditetapkan sebagai makanan khas Cilacap pada tahun 2014. Keputusan ini tertuang dalam SK Bupati Cilacap omor 556/501/18/Tahun 2014 pada tanggal 6 November 2014. Asal-Usul Brekecek Pathak Jahan Brekecek merupakan gabungan kata dari “brek” dan “kecek”. Brek berarti dijatuhkan atau diletakkan. Dan kecek artinya dikecek atau dicampur. Jadi brekecek ini adalah metode memasak yang meletakkan bahan dasarnya lalu dicampur dengan bumbu yang khas. Sementara itu, Pathak adalah kepala, dan jahan adalah jenis ikan yang digunakan sebagai bahan dasar. Jadi, dapat dikatakan bahwa pathak jahan merupakan bahan masakan yang berasal dari bagian kepala ikan jahan. Daging atau badan ikan jahan biasanya diolah menjadi ikan asin. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya dengan Ikan Asin Jambal Roti. Salah satu keunggulan ikan asin dari Cilacap ini adalah dagingnya yang tebal. Karena ketebalan dagingnya ini, saat dibuat ikan asin biasanya dibelah jadi dua, sehingga menjadi lebar. Konon, pada awalnya kepala ikan jahan ini dibuang, karena hanya bagian tubuhnya saja yang diolah menjadi ikan asin. Namun, ternyata kepala ikan jahan ini juga terdapat daging yang dapat dikonsumsi. Maka, kemudian masyarakat Cilacap mengolahnya menjadi Brekecek, sehingga kini seluruh bagian ikan dapat dimanfaatkan. Dibumbui Berbagai Macam Rempah Meskipun diolah dengan berbagai macam rempah yang kelihatannya sangat kompleks, namun bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk memasak Brekecek Pathak Jahan ini sangat mudah didapatkan. Sebut saja seperti: cabai merah, kunyit, bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, daun gula merah, daun salam, kemiri, dan serai. Untuk menambah sensasi pedas pada masakan, kita dapat menambahkan cabai rawit. Bumbu tersebut dimasak kemudian dimasukkan ke wajan yang sama dan dimasak bersama dengan pathak jahan. Untuk meminimalisir bau amis pada ikan, dapat juga menambahkan perasan jeruk nipis dan daun kemangi. Dimakan dengan Nasi Putih Hangat Kenikmatan Brekecek Pathak Jahan kian terasa sempurna apabila dimakan bersama dengan nasi putih hangat, cah toge, kerupuk tengiri, yutuk, atau stik sukun. Daya tarik lain yang dicari para nikmat kuliner ini adalah sensasi menyeruput daging yang berada di antara tulan kepala ikan ini. Sensasi gurih pedas dari kuliner ini juga membuat lidah terus bergoyang. Lokasi Penjual Brekecek Pathak Jahan Saat berada di Cilacap, kuliner ini cukup mudah ditemukan. Apalagi saat berada di kawasan pesisir. Namun ada beberapa warung legendaris yang menjadi langganan sebagian besar penikmat kuliner ini. Salah satu warung penjaja Brekecek Pathak Jahan di Cilacap yang cukup populer adalah Warung Ibu Widi yang terletak di Jalan Slamet Nomor 5, Sidanegara, Kecamatan Cilacap Tengah. Pathak Janam Warung Ibu Widi terkenal dengan cita rasanya yang pedas dan bumbu rempah yang meresap hingga ke dalam daging. Pemilik Warung, Ibu Widi mengungkapkan, Pathak Janam di warungnya di masak lebih lama hingga kuahnya menjadi susut. Inilah yang kemudian membuat kepala ikan menjadi empuk dan bumbunya meresep hingga ke dalam. Warung Ibu Widi buka mulai pukul 10.00 WIB hingga 19.00 WIB. Kamu dapat menikmati satu porsi Brekecek Pathak Jahan hanya dengan uang sekitar 25-30ribu rupiah.

Nasi Berkat Wonogiri, Nasi Hajatan Ada Sejak Dua Abad Lalu

Nasi Berkat Wonogiri, Nasi Hajatan Ada Sejak Dua Abad Lalu

Nasi berkat Wonogiri atau biasa disebut sego berkat khas Wonogiri ini makin populer di era pandemi. Makanan ndeso ini cukup menyita perhatian para pecinta kuliner, karena rasa dan penyajian yang unik dengan daun jati (godhong jati) yang menimbulkan aroma yang sedap. Kuliner jadul yang klasik serta memiliki nilai filosofis ini secara tiba-tiba menjadi menu hits yang ditawarkan baik online maupun offline. Hal ini cukup mampu mengobati rasa rindu masyarakat terhadap kampung halaman yang terhalang mudik karena pandemi. Rasa dan penyajian sego berkat ternyata sangat diterima oleh segala lapisan masyarakat. Jika sebelumnya hanya bisa didapatkan di daerah asalnya dan tidak setiap waktu, namun saat ini sego berkat bisa ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, kebanyakan di kota-kota besar. Sego berkat adalah nasi dibungkus bersama bermacam lauk-pauk yang biasa disajikan saat hajatan masyarakat terutama di Wonogiri dan sekitarnya. Jika biasanya setelah pulang dari hajatan, tamu diberi oleh-oleh souvenir pernak pernik sebagai bentuk terimakasih dari tuan rumah kepada para tamunya namun masyarakat Jawa Tengah memberikan sego berkat sebagai oleh-oleh souvenir. Berbeda wilayah, beda pula macam sego berkat. Salah satu yang unik dan paling populer sego berkat asal Wonogiri sekitarnya yang membungkusnya menggunakan godhong jati (daun jati) hingga disebut sego berkat godhong jati. Selain karena godhong jati mudah ditemukan di daerah Wonogiri, juga karena aroma nasi yang dibungkus daun jati akan lebih sedap disantap meskipun disajikan dalam keadaan tidak hangat. Lauk seadanya menjadi tak sederhana karena hanya ada enak tiada tara. Lauk pauk yang membersamai sego berkat juga beragam sesuai keinginan. Namun pada umumnya, lauk pauk berupa bihun goreng, semur daging, oseng lombok (kentang dan cabai), serundeng. Dilansir dari solopos.com, Heri Priyatmoko yang merupakan dosen Program Pendidikan Sejafrah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma menjelaskan bahwa sejarah nasi berkat sudah tertuang di dalam Serat Centhini (1814-1823), yang artinya sego berkat sudah ada sejak dua abad silam. Ia mengatakan berdasarkan sejarah sejarah komposisi nasi berkat dari zaman ke aman tidak berubah. Sego berkat yang keberadaannya kini mudah didapat, menandakan bahwa sego berkat merupakan kreativitas tradisional yang mebuat orang memiliki ikatan emosional terhadap sejarah. Dalam sejarah tersebut, sego berkat ada hanya saat acara hajatan, syukuran atau acara keramaian/kegembiraan yang lainnya. Hidangan tersebut tidak pernah disajikan sebagai makanan sehari-hari atau dijual di warung-warung makan. Itulah sebabnya mengapa sego berkat menjadi terasa spesial. Sesuai dengan keberadaannya, dinamakan sego berkat karena hanya ada pada acara-acara syukuran dan hajatan. Di mana pada setiap acara hajatan selalu diiringi dengan doa-doa sebagai bentuk rasa syukur. Berkat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu barakat yang artinya kebaikan atau keberkahan yang akan terus bertambah. Orang yang menggelar hajatan akan memberikan sego berkat sebagai tanda agar hajatnya dikabulkan, merupakan tanda terimakasih, dan berharap agar saling mendoakan dalam kebaikan. Filosofi Kehidupan dalam Sebungkus Nasi Berkat Filosofi di balik sebungkus sego berkat seperti bersedekah kepada sesama, agar kebaikan juga akan dibalas dengan kebaikan. Sego berkat akan memberikan kebaikan dan keberkahan terus menerus kepada yang memeberikan maupun yang menerima. Sebungkus sego berkat menyimpan nilai-nilai hasthalaku yaitu 8 tingkah laku yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan oleh banyak orang, yang meliputi Tepa selira artinya tenggang rasa Lembah manah artinya rendah hati Andhap ashor artinya uga rendah hati. Disebut dua kali sebagai bentuk penekanan pentingnya sikap ini Grapyak semanak artinya ramah dan mudah bergaul Gotong royong Guyub rukun artinya selaras dalam kebersamaan Ewuh pakewuh artinya rasa sungkan Pangerten artinya pengertian Dari sego berkat seharusnya bukan hanya mendapat kenikmatan rasanya saja tapi bisa mengamalkan filosofi yang melekat dan dapat menjadi refleksi tersendiri bahwa zaman boleh maju, peradaban boleh berubah, namun nilai-nilai Hastalaku yang menjadi filosofi sego berkat tak boleh luntur dari kepribadian sebagai bangsa yang berbudaya

Kue Putu Dinobatkan Sebagai Salah Satu Kue Terbaik Dunia

Kue Putu Dinobatkan Sebagai Salah Satu Kue Terbaik Dunia

Baru-baru ini situs Taste Atlas merilis kue-kue populer dan 50 kue dengan nilai terbaik di seluruh dunia. Kue Putu, kue tradisional asal Indonesia menjadi salah satunya. Tepatnya kue putu menempati peringkat ke-45 dengan skor 4.21. TasteAtlas merupakan situs wisata dan kuliner yang mengulas seputar makanan tradisional, resep lokal, dan restoran autentik di seluruh dunia. Kue putu merupakan kue tradisional asal Indonesia yang terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti parutan kelapa, tepung beras dan gula (merah/jawa) sebagai isiannya. Kue tradisional ini pada umumnya dihidangkan dalam warna putih dan hijau. Namun, yang lebih banyak dijumpai adalah warna hijau yang berasal dari daun suji. Ditambah taburan parutan kelapa warna putih, membuat kue ini lebih menggugah selera. Kue ini biasanya dijual saat sore menjelang malam hari. Biasa dijajakan dengan dipanggul atau menggunakan gerobak. Salah satu ciri khas yang menjadi penanda dari penjual kue ini adalah cerobong asap kecil yang berbunyi nyaring. Cerobong ini juga sebagian digunakan untuk mengukus bahan kue yang dimasukkan dalam tabung bambu. Sejarah Kue Putu Nama Kue Putu diambil dari serapan bahasa Jawa “putu” yang berakar dari istilah kuno bahasa Jawa “puthon” yang berarti “lingkaran” atau “bundar”. Hal ini merujuk pada peralatan yang digunakan sebagai pengukus kue putu yang berasal dari rongga batang bambu yang berbentuk tabung. Pada masa Dinasti Ming, kue putu disebu dengan XianRoe Long yang berarti kue dari tepung beras dengan isi kacang hijau di dalamnya. Namun setelah masuk di Indonesia, isian kue diganti menjadi gula jawa/ gula merah. Sementara itu penyebutan puthu tertuang dalam Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 pada masa Kerajaan Mataram. Dalam naskah itu diceritakan bahwa Ki Bayi Panurta meminta santrinya untuk menyediakan hidangan pagi. Diantara hidangan tersebut terdapat puthu sebagai camilan atau makanan pembuka. Kejadian ini terjadi pada tahun 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur. Penyebutan puthu juga terjadi pada peristiwa lain di desa yang sama. Dalam naskah kuno tersebut diceritakan Nyai Daya dan Nyai Sumbaling sedang menyiapkan kudapan usai salat Subuh. Hidangan yang disiapkan itu terdapat gemblong, serabi, ulen-ulen, puthu, jenang, jadah, dendeng baluk, dendeng gepuk, kupat, pisang bakar, jenang grendul, balendrang, dan wedang bubuk.

Tempe Mendoan Banyumas, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

Tempe Mendoan Banyumas, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

Rasanya tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal tempe. Produk olahan fermentasi dari kedelai ini memiliki aroma kacang yang mengiurkan dengan tekstur yang garing. Indonesia adalah negera produsen terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Maka tak heran pula, jika ada banyak menu olahan tempe, salah satunya adalah Tempe Mendoan Banyumas. Tempe biasa disantap sebagai makanan utama atau camilan yang mengenyangkan yang diketahui dapat menigkatkan kesehatan karena mengandung antioksidan, antimikroba, dan mencegah diare. Salah satu olehan tempe yang populer adalah tempe mendoan. Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Sejak 29 Oktober 2021 Tempe Mendoan khas Banyumas resmi ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda (WBTb) Indonesia. Peresmian tersebut diberikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam sidang Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2021 di Jakarta. Tempe Mendoan masuk dam WBTb kategori Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional berdaarkan ketetapan Kasi Nilai Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas Mispan. Telah Ada Lebih Dari Seabad Mendoan, konon sudah ada sejak lebih dari satu abad lalu yang munculnya bersamaan dengan tempe. Sejak 1960-an, tempe mendoan telah menjadi komoditas dan dikelola secara komersil di Banyumas dan menjadi ujung tombak pariwisata di Kabupaten Banyumas. Tempe mendoan adalah olahan tempe dengan bahan dasar tempe khas Banyumas yang bentuknya tipis. Tempe kemudian dibalur campuran tepung dan bumbu tak lupa dengan irisan daun bawang, lalu digoreng selama tiga sampai empat menit tidak sampai renyah bahkan cenderung mendo atau setengah matang. Itulah mengapa dinamakan tempe mendoan. Cocok Disajikan Panas dengan Rawit Hijau Tempe Mendoan cocok disajikan panas-panas dengan cabe rawit hijau dan atau sambal kecap manis. Pada dasarnya cita rasa tempe mendoan hampir sama dengan tempe pada umumnya, namun bentuknya lebih tipis dengan ketebalan bahan mentah sekitar 3 inci. Bukan tanpa alasan tempe mendoan digoreng setengah matang. Konon karena dulunya dibuat sebagai olahan cepat saji dan bertujuan untuk mempersingkat waktu pengolahan yang tidak menghabiskan banyak waktu menunggu tempe renyah. Semenjak menjadi komoditas dan dikelola secara komersial, muncul pusat oleh-oleh sawangandan kripik Nyonya Sutisno yang mengolah bentuk lain dari mendoan yang kering atau disebut dengan nama kripik. Filosofi Tempe Mendoan Filosofi tempe mendoan merupakan perumpamaan orang Banyumas yang bisa diumpamakan seperti mendoan yang lembek, fleksibel dalam arti mudah menyesuaikan diri. Namun dalam keadaan mendesak, bisa menjadi keripik yang kaku. Yang bila diajak berselisih ibarat mau diajak remuk bersama. Filosofi ini dikaitkan dengan tekad para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan Indonesia asli Banyumas zaman dulu yang banyak menjadi tokoh di dunia diplomasi dan kemiliteran seperti Jendral Soedirman, Soesilo Soedarman, Soepardjo Roestam, dan lain-lain.

Bakso Titoti Wonogiri, Bakso Asli Teruji Sejak 1971

Bakso Titoti Wonogiri, Bakso Asli Teruji Sejak 1971

Masyarakat Indonesia pasti sudah tidak asing dengan kuliner yang bentuknya bulat, terbuat dari daging olahan yang dicincang yang biasa disebut bakso. Pencipta bakso pertama kali konon adalah orang bernama Meng Bo, yang hidup di Kota Fuzhou, Cina pada wal abad ke 17 atau pada akhir masa dinasti Ming. Istilah bakso sendiri berasal dari kata “Bak-So” yang secara harfiah dalam bahasa Hokkien artinya daging giling. Di Indonesia belum dapat dipastikan penemu bakso, tapi diyakini bakso adalah salah satu makanan yang diakulturasi dari budaya Cina yang sudah menetap di Indonesia ratusan tahun lalu. Salah satunya adalah Bakso Titoti Wonogiri. Sejarah Bakso Titoti Wonogiri Hampir di setiap wilayah di Indonesia memiliki bakso anadalannya masing-masing. Namun, Wonogiri dikenal luas oleh masyarakat kerena bakso dan mie ayamnya. Kedai Bakso Wonogiri sudah ada hampir di seluruh pelosok negeri yang dibawa oleh orang Wonogiri yang merantau. Titoti adalah kedai bakso yang sudah lama melegenda. Slamet Triyanto asli Wonogiri adalah pemilik sekaligus pendiri Bakso Titoti. Beliau sudah berjualan bakso sejak 1971 di daerah Kota Bambu. Awalnya, Pak Slamet merantau ikut orang yang sudah berjualan bakso lebih dulu di Jakarta. Dengan pikulan Pak Slamet menjajakan baksonya. Saat itu harga bakso masih sangat murah, Rp 75 sudah mendapatkan semangkuk bakso. Setelah sekian lama menjajakan bakso dengan pikulan, Pak Slamet mengganti dengan gerobak dorong. Dengan modal nekat dan yakin, Pak Slamet tidak ikut orang lagi dan memilih berjualn sendiri. Setelah mendapatkan gerobak dorong, Pak Slamet memilih menjajakan baksonya dengan cara berdiam, tidak berkeliling lagi. Sempat mengalami penggusuran dan berpindah-pindah tempat jualan. Pada akhirnya di tahun 1987 membuka kedai Bakso di daerah Kota Bambu Jakarta Barat. Nama Titoti ternyata diambil dari nama ketiga anaknya pada saat itu. Ti diambil dari nama anak pertama, Nuryanti. To diambil dari nama anak kedua, Hartanto. Dan Ti diambil dari nama anak ketiga, Susanti. Menjaga Kulitas dan Rasa Asli Karena memiliki rasa yang berkualitas dan tidak berubah, Bakso Titoti masih terus berkembang hingga saat ini. Pak Slamet menjelaskan bedanya Bakso Titoti dengan bakso pada umumnya. Jika Bakso Titoti haruslah dibuat menggunakan daging sapi sepenuhnya, hanya ditambah putihan telur agar bisa dibentuk dan merekat. Bakso pada umumnya dibuat dengan banyak campuran tepung tapioka. Bakso Titoti juga dibuat dengan daging segar dan menggunakan daging bagian paha belakang sapi yang disebut daging panasar dan daging penutup yang lembut dan kenyal. Selain dari bakso, istimewanya Bakso Titoti berasal dari kuah bakso yang dibuat dari rebusan tulang sum-sum. Hingga saat ini Bakso Titoti terus mempertahankan kualitas dan rasa asli dari sejak awal berdiri. Dengan menjaga keaslian rasa dan kualitas tanpa ada modifikasi, hingga kini Bakso Titoti sudah memiliki 18 cabang dengan omset ratusan juta per-hari. Beragam Variasi Bakso Saat ini sudah terdapat berbagai variasi bakso seperti bakso urat, bakso polos, bakso halus dan bakso telur. Tidak hanya menu bakso juga terdapat mie ayam, siomay, ayam goreng dan sop sapi. Pengunjung dapat memesan beragam menu bakso seperti bakso kuah, bakso mie, dan bakso spesial yang menjadi andalan. Satu porsi bakso spesial berisikan mie putih, mie kuning, urat halus kecil, urat kecil, satu tahu bakso, satu bakso urat besar, dan satu bakso isi telur. Kemudian disiram dengan kuah, diberi taburan bawang goreng dan daun seledri dan ditambah toping kikil sapi. Satu porsi bakso spesial dibandrol dengan harga Rp 30.000. Namun untuk varian menu yang lain cukup terjangkau, yang dapat dinikmati mulai dari kalangan mahasiswa hingga pejabat. Jika melihat dari berbagai aspek, tidak heran jika warung bakso ini sangat melegenda dan tak pernah sepi pengunjung. Kamu belum coba? harus coba sekarang juga 🙂