Jowonews.com – Momen spesial merupakan hal yang perlu disyukuri dalam kehidupan. Banyak cara dilakukan untuk merayakan momen tersebut. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa adalah Tingkeban. Tradisi Tingkeban adalah acara slametan yang dilakukan pada usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Namun, tradisi Tingkeban hanya dilaksanakan untuk anak pertama yang dikandung si ibu. Terangkum dari beberapa sumber, prosesi acara Tingkeban ini, diawali dengan siraman yang dilakukan sesepuh dan suami. Namun setelah Islam masuk prosesi ini mengalami akulturasi budaya. Sebelum acara siraman, biasanya diawali dengan membaca Surat Al Fatihah, Surat Al-Ikhlas (3x), Surat Al-Falaq (1x), Surat An-Nas (1x), Ayat Kursi (7x) dan ditambahkan dengan membaca Surat Luqman dan Maryam. Ritual Tingkeban ini mengandung makna bahwa pendidikan bagi sang anak perlu ditanamkan sejak anak masih berada dalam kandungan sang ibu. Dalam upacara Tingkeban ini, sang ibu dimandikan dengan air yang dicampur kembang setaman. Acara siraman juga dibarengi dengan doa permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bayi dalam kandungan dapat lahir dengan sehat dan selamat. Asal-Usul Tradisi Tingkeban Konon tradisi Tingkeban ini sudah dilakukan sejak Zaman kekuasaan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri. Dikutip dari jurnal karya Iswah Adriana berjudul Neloni, Mitoni atau Tingkeban, dikisahkan ada pasangan suami istri yang memiliki sembilan orang anak. Namun, semua anak mereka tidak berumur panjang. Pasangan suami istri bernama Sadiyo dan Niken Satingkeb itu kemudian mengadu kepada raja terkait cobaan yang mereka alami. Sang Raja kemudian meminta kepada Satingkeb agar ia mandi dengan air suci pada hari Rabu dan Sabtu menggunakan gayung tempurung disertai dengan doa. Seusai mandi, Satingkeb kemudian mengenakan kain yang bersih. Setelah itu ia menjatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak perut dan pakaian. Saat Satingkeb hamil, ia melilitkan daun tebu wulung di perutnya dan kemudian daun itu dipoting dengan keris. Seluruh petuah tersebut harus dijalankan secara teratur dan cermat. Sejak saat itulah masyarakat Jawa mulai melakukan ritual Tingkeban secara turun temurun. Perlengkapan Upacara Tingkeban Menurut berbagai sumber, perlengkapan Tradisi Tingkeban terbagi menjadi dua, yakni perlengkapan untuk golongan bangsawan dan untuk rakyat biasa. Perlengkapan Upacara Tingkeban Bangsawan Bagi para bangsawan, ubarampe upacara Tingkeban antara lain: tumpeng gundul, tumpeng robyong, sekul asrep-asrepan, sebutir kelapa, ayam hidup, jajanan pasara, dan lima macam bubur. Sementara itu untuk acara slametan terdiri dari berbagai jenis makanan antara lain tujuh macam nasi, nasi majemukan, pecel ayam, sayur menir, apem, ketan kolak, nasi gurih, nasi punar, ketupat, ingkung, rujak, dawet, air bunga dan kelapa tabonan. Perlengkapan Upacara Tingkeban Rakyat Biasa Sementara untuk rakyat biasa, ubarampe perlengkapan Tingkeban antara lain, jajanan pasar, sego hangan, jenang abang putih, jenang baro-baro, emping ketan, sego golong, tumpeng robyong, sego liwet, dan bunga telon. Sedangkan untuk acara slametan terdiri daro sego ambengan, sego gurih, jajanan pasar, ketan kolak, apem, sego jajajan, pisang raja, tujuh buah tumpeng, jenang, dan kembang boreh. Tata Cara Upacara Tingkeban Siraman Pada zaman dulu tradisi siraman biasa dilakukan di sumber mata air, atau sungai. Sesepuh atau keluarga yang menyiram biasanya berjumlah tujuh orang termasuk calon ayah dari jabang bayi. Ritual Siraman Tingkeban ini sebagai pengharapan bahwa agar kelak bayi yang dilahirkan suci bersih. Sementara itu tujuh orang berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu pitu. Arti dari pitu sendiri adalah pitulungan (pertolongan). Hal ini sebagai bentuk pengharapan agar kelak bayi yang dilahirkan mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa beserta orang-orang di sekitarnya. Ketika prosesi penyiraman air dilakukan, sang ibu sang ibu harus memegang seekor ayam dan telur beserta buah kelapa yang nantinya akan disiram bersama. Memasukkan Telur Ayam Ke Sarung Setelah ritual Siraman selesai dilakukan sang ibu harus melepas ayam tadi telah disiram bersama. Prosesi selanjutnya adalah memasukkan telur ayam kampung. Calon ayah jabang bayi memasukkan telur ayam mentah ke dalam kain/sarung yang telah dikenakan oleh calon ibu. Telur tersebut dimasukkan sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai perlambang dan harapan, kelak bayi yang dilahirkan diberikan kelancaran dan kemudahan saat proses persalinan, seperti telur yang menggelinding tadi. Upacara Ganti Busana Selanjutnya sang calon ibu melakukan prosesi upacara ganti busana. Busana tersebut terdiri dari tujuh buah jenis kain dengan motif kain yang berbeda-beda. Calon ibu memakai kain putih sebagai dasar pakaian pertama. Pakain putih yang dikenakan tersebut sebagai simbol bahwa bayi yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci. Kemudian calon ibu berganti pakaian sebanyak enam kali. Setiap selesai ganti pakaian biasanya diiringi pertanyaan, “Sudah pantas belum?” Kemudian dijawab tamu yang hadir, “Belum pantas”. Sampai pakaian paling terakhir dipakai atau ketujuh baru dijawab, “Pantas”. Menurut tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, kain ketujuh adalah yang paling pantas dipakai. Motif kemben dan kain yang akan dipakai dipilih yang paling baik. Hal ini sebagai pengharapan agar kelak si jabang bayi juga memiliki kebaikan dan keutamaan yang tersirat dalam lambang kain. Sebagai tambahan informasi, biasanya kain yang dipakai saat upacara ganti pakaian atau ganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semuanya dapat dimaknai secara baik. Adapun motif-motif tersebut antara lain: Wahyu Temurun Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan nanti menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan selalu mendapat perlindungan-Nya. Sido Asih Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang akan dilahirkan memiliki sifat belas kasih dan selalu mendapatkan cinta serta kasih oleh sesama. Sido Mukti Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi dilahirkan nantyi memiliki sifat berwibawa dan disegani oleh sekelilingnya. Truntum Sebagai perlambang dan pengharapan agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi. Sido Luhur Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar jabang bayi kelak memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun. Semen Romo Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya. Sido Dadi Sebagai perlambang dan pengharapan agar jabang bayi kelak senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya Babon Anggrem Sebagai perlambang dan pengharapan agar calon ibu dapat melahirkan secara lancar dan normal. Sido Derajat Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar kelak bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya. Setelah mengenakan pakaian yang ketujuh, ritual kemudian dilanjutkan dengan pemutusan benang lawe atau janur yang dililitkan di perut calon ibu. Pemutusan tersebut dilakukan oleh calon ayah dengan maksud agar kelak nantinya dalam … Baca Selengkapnya