Mengungkap Kisah Batik Tulis Bakaran, Warisan Berharga dari Masa Majapahit
PATI – Masyarakat Desa Bakaran Wetan merayakan festival membatik yang melibatkan 100 peserta yang berkumpul di halaman balai desa. Dalam acara yang digelar pada Minggu (8/10/2023) tersebut, warga dari berbagai usia tampak antusias membatik dengan motif khas Bakaran. Festival ini dilengkapi dengan peralatan membatik seperti wajan, kompor, saringan, dan canting. Sebagian besar peserta, terutama para ibu-ibu, sibuk membatik pada kain putih yang siap digunakan sebagai media untuk menggambarkan keindahan batik. Kepala Desa Bakaran Wetan, Wahyu Supriyo, menjelaskan bahwa festival membatik massal ini melibatkan warga dari Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Acara ini menjadi bagian dari rangkaian perayaan Hari Batik Nasional yang dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2023 lalu. “Alhamdulillah, hari ini merupakan puncak acara dalam rangkaian Festival Batik Bakaran 2023 yang telah dimulai sejak 2 Oktober 2023. Acara pagi ini khususnya adalah festival membatik,” ungkap Wahyu kepada detikJateng di lokasi pada Minggu (8/10/2023). Menurut Wahyu, melalui festival membatik ini, mereka ingin menegaskan keberadaan batik tulis khas Bakaran yang terus dilestarikan. Wahyu berkomitmen untuk menjaga dan mempertahankan tradisi batik tulis di tengah maraknya batik printing atau batik cetak yang menguasai pasar. “Dengan festival membatik ini, kami ingin mengingatkan masyarakat di seluruh Indonesia bahwa di Bakaran Wetan, terdapat Batik Bakaran yang merupakan warisan nenek moyang yang kami jaga, lestarikan, dan pertahankan batik tulisnya,” jelas Wahyu. “Di era teknologi yang semakin canggih, ada ancaman bahwa batik tulis akan hilang dan digantikan oleh batik cetak. Oleh karena itu, melalui festival membatik massal ini, kami ingin menunjukkan bahwa kami selalu menghargai dan mendukung batik tulis,” lanjutnya. Sejarah Batik Bakaran Menurut Wahyu, seorang tokoh penting dari Desa Bakaran Wetan, sejarah batik tulis Bakaran tidak lepas dari masa Kerajaan Majapahit. Konon, seorang leluhur bernama Nyi Banoewati, yang dikenal sebagai penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit, datang ke daerah Bakaran pada akhir abad ke-14, di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Wahyu menjelaskan bahwa salah satu motif yang sangat dikenal di masyarakat adalah motif “gandrung.” Motif ini diciptakan oleh Nyai Banoewati, terinspirasi oleh pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di Tiras Pandelikan. Sejak saat itu, kerajinan dari Nyai Banoewati dilestarikan dan diajarkan kepada masyarakat Bakaran. “Sejarah batik tulis Bakaran ini dimulai pada tahun 1478 Masehi, ketika Mbah Nyai dari Majapahit menetap di Bakaran Wetan dan mulai membatik. Pembelajaran dan tradisi ini kemudian turun-temurun hingga hari ini, terus dilestarikan,” ungkap Wahyu. Motif Batik Bakaran Bakaran Wetan dikenal dengan berbagai motif batik tulisnya, dan ciri khasnya adalah penggunaan warna hitam dan coklat. Beberapa motif terkenal antara lain adalah gandrung, padas gempal, gringsing, bregat ireng, sido mukti, dan sido rukun. “Motif yang ada di batik tulis ini adalah ciri khas Bakaran, dengan remekan yang khas, serta perpaduan warna hitam, coklat, dan putih yang memberikan karakteristik yang unik,” terang Wahyu. Selain itu, pembuatan batik tulis Bakaran melibatkan cecekan yang dibuat dengan canting yang sangat kecil. Hal ini memungkinkan batik tulis Bakaran menjadi sangat rapi dan mendetail. “Penggunaan canting yang sangat kecil dalam pembuatan cecekan adalah salah satu keahlian yang khas dari batik tulis Bakaran, sehingga cecekan pada batik ini selalu tampak sangat rapi,” ungkapnya. Wahyu juga menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat Bakaran Wetan bekerja dalam pembuatan batik, dan ada tujuh pengusaha besar yang terlibat dalam industri ini. Selain itu, jika kita memasukkan Desa Bakaran Kulon, total ada 13 pengusaha batik yang berperan penting dalam melestarikan tradisi batik tulis Bakaran. Foto Dok. Detik Jateng